Beranda

20 October 2009

LOSING YOUR PERSONAL BELONGINGS IN JAPAN

Posted Monday, May 15, 2006; 20:00 HKT
Should you ever doubt that there's a fundamentally benign order to the universe, talk to Mikako Kato. The Tokyo magazine editor has lost her navy-blue Loewe wallet five times in the last 14 years—and it has always been returned to her, complete with credit cards, identification cards and, most remarkably, a good deal of cash.
"It's just so incredible," says Kato, "or this must be a very unattractive wallet." It had nothing to do with the wallet's appearance—Japan has an amazingly high return rate when it comes to lost property. Of the 255,844 wallets reported mislaid in Tokyo last year, a heart-warming 194,139 were handed in to authorities, according to the Tokyo Metropolitan Police's Lost and Found Center. About 95,000 of the 100,247 cell phones reported lost were also brought in.
What can account for this? Traditional virtues, certainly (teaching children to hand in lost items is commonplace anywhere in the world, but is done with real zeal in Japan). Empathy with one's fellow commuters and city dwellers, perhaps. Whatever the explanation, these displays of honesty routinely astonish visitors from abroad. "In London, if you left an umbrella outside a 7-Eleven, it'd be gone by the time you entered the store," says Dick Catlin, an expatriate investment banker from England who lost his camera, phone and house keys in a Tokyo bar only to find them untouched the next day. "But Japan is extremely unusual." The message is clear: if you're going to be forgetful, remember to do it in Japan.

TIME, 22 May 2006 (sebagaimana juga di cuplik Tuanakotta dalam "Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif", LP-FEUI, 2007

28 May 2009

AGAMA adalah CANDU? Benarkah..

Ketika buka email yang dikirimkan oleh seorang rekan melalui milis komunitas, sempat kaget bahwa dia melemparkan beberapa pertanyaan :
  1. Religius-kah (salihkah) orang Indonesia? Sholat yang benar akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Kalau sholat jalan, perbuatan keji dan munkar jalan, berarti ada yang salah dengan sholatnya.
  2. Seharusnya orang yang lebih religius adalah orang yang lebih professional. Kalau bisa shalat tepat waktu, harusnya datang kerja juga tepat waktu. Kalau kesalihan tidak nyambung dengan profesionalitas, missing link nya ada dimana ya?
  3. Kenapa rata2 negara maju dan kaya penduduknya cenderung abai dengan agama ya?
  4. Ayo belajar ekonomi dan Islam. Kalau ada di antara sampeyan2 yang masih percaya omongan Jusuf Kalla (misalnya manggut2 setuju dengan omongan beliau di sini ) atau kesengsem sama jargon kerakyatan Prabowo atau Amien Rais, kalau kata buku ini , kayaknya cita - cita negara yang sejahtera masih lama kesampaiannya. Kalau ga sejahtera, (berarti miskin), kata Rasul SAW, kita bakal dekat dengan kekufuran.

Otak-ku langsung Klik hyperlink Statemen Karl Marx, "Agama adalah Candu". Kemudian muncul pertanyaan, benar ga ya aforisme Karl Marx yang cukup terkenal ini?.

Kucoba browsing masa-masa kehidupan Karl Marx ketika mengeluarkan statement itu. Menari-nari dalam pikiranku bahwa ketika mengungkapkan hal tersebut Marx telah memberikan penilaian terhadap situasi masyarakat di sekitarnya. Karena ku tahu persis, si Pakde Marx ini adalah seorang Filsuf, pengamat sosial yang tajam.

Kuyakini, yang dinilai oleh Pakde Marx adalah suasana masyarakat agamis yang diwakili oleh komunitas gereja pada saat itu yang sangat egosentris dan menghalangi kemajuan daya kreasi pemikiran manusia. namun kutak teryakini, apakah komunitas gereja saja yang dinilai sehingga ia menggeneralisasi egosentris gereja ke dalam spektrum seluruh agama yang ada di muka bumi, atau tidak menutup kemungkinan tren sufistik yang pada saat itu sedang booming di kalangan Islam juga punya andil munculnya aforisme Pakde Marx yang demikian.

tapi aku ga mau Ribet, Conditionally, omongan Karl Marx ada benarnya. Coba aja lihat, (aku ambil contoh orang Muslim aja, soale aku Muslim), Orang yang hidupnya hanya beribadah terus sepanjang hari pasti dia ga maju. Apalagi orang yang ber-uzlah selama berhari-hari, berbulan-bulan, dengan alasan kedekatan kepada Sang Khalik akan tercipta ketika mengasingkan diri untuk beribadah.

Tapi, Conditional lainnya, Omongan Karl Marx ga bisa digeneralisasi. Contoh, (lagi-lagi orang muslim yang aku ambil contohnya). Rasulullah SAW beserta Khulafa Rasyidin sebagai generasi murni ajaran Islam, Aforisme Karl Marx ga masuk. Mereka beribadah dengan sangat giat melebihi kualitas ibadah orang-orang Muslim yang hidup saat ini. Tapi, mereka bermasyarakat, mereka membangun perekonomian, Membangun kekuatan militer, Ga pake uzlah-uzlahan segala, ga pernah puasa mutih, ga pernah ngasih sesembahan atau bid'ah-bid'ah lainnya.

Jadi, Aforisme Karl Marx itu (AGAMA adalah CANDU) tidak berlaku umum. Ga bisa diterapkan jika dikaitkan dengan ajaran Islam yang shahih yang dipraktekkan oleh Generasi Islam pertama. Mungkin kalo sekarang, bisa aja Islam itu jadi candu. Misalnya, terhadap orang yang suka banget dengan ritual-ritual dzikir sehingga lupa diri, tanggung jawab keluarga, dan kewajiban berbangsa dan bernegaranya.

ya.. missing link-nya adalah pemahaman yang keliru dari para pemeluk Agama (Islam), kalo agama lain, I dont have capability in judging other religion.

19 May 2009

Jawaban Elegan dari Seorang Tukang Bakso

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik – rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini. Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang maubakso ? "Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ... Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng.
Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini. "Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita – cita penyempurnaan iman".

"Maksudnya.. ..?", saya melanjutkan bertanya. "Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

  1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.
  2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban.
    Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
  3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam.

Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yangmampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".