Beranda

27 October 2010

Seberapa Kaya Umar Bin Khattab

Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa hanya ada dua sahabat Rasul yang benar-benar sangat kaya, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Namun sebenarnya, sejarah juga sedikit banyak seperti “mengabaikan” kekayaan yang dipunyai oleh sahabat-sahabat yang lain.

Ingat perkataan Umar bin Khattab bahwa ia tak pernah bisa mengalahkan amal sholeh Abu Bakar? Itu artinya, siapapun tak bisa menandingi jumlah sedekah dan infaqnya Abu Bakar As-Shiddiq.

Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya.

Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.

Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan.

Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah! Semoga kita bisa meneladani Umar bin Khattab.
(sa/berbagaisumber/Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab/khalifa)

23 October 2010

Antara Kode Etik dan Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum

Prolog
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh seorang Polisi berpangkat Komisaris Besar Polisi (penulis temukan melalui browsing di Internet) menyebutkan bahwa bekerjanya sistem hukum di KPK bisa terlihat optimal karena dari segi kesejahteraan, personil di KPK sangat terdukung oleh gaji/insentif yang diterima para petugas KPK, yang tentunya sangat berbeda jauh dari gaji/insentif yang diterima oleh para penyidik Polri atau Kejaksaan yang bekerja di institusinya masing-masing. Selain itu, sarana dan fasilitas pendukung operasional KPK, sangat berbeda bila dibandingkan dengan sarana dan fasilitas pendukung operasional yang diterima oleh penyidik Polri dan Kejaksaan di instansinya masing-masing. Hal ini berdampak pada lengkapnya hasil penyelidikan dan penyidikan sehingga persidangan kasus-kasus yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor sangat mendukung sistem pembuktian di sidang pengadilan. Tentunya hal tersebut bisa tercipta karena dukungan sarana dan fasilitas APBN yang mencukupi. (Lihat : http://bekasinews.com/ serba-sebi/opini/485-pembangunan-aparatur-penegak-hukum.html).

Hal ini merupakan hipotesis yang menurut penulis kurang lengkap dan perlu untuk diberikan pelengkapnya supaya utuh. Sebab, permasalahan kesejahteraan dan dukungan operasional hanya merupakan dua dari tiga faktor yang dapat meningkatkan kinerja dan komitmen penegakan hukum yang profesional dan tidak memihak. Ketiga faktor tersebut adalah kesejahteraan, dukungan operasional dan kode etik beserta penegakannya.
Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kesejahteraan dan daya dukung operasional senantiasa dikemukakan oleh internal instansi penegak hukum sebagai "curhatan publik". Jarang sekali instansi penegak hukum secara jujur mengkoreksi eksistensi dan penegakan kode etik internalnya. Padahal, ketiga hal tersebut merupakan sisi penunjang penegakan hukum yang tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu sebagai pelengkap analisa yang dikemukakan oleh personil kepolisian tersebut, penulis hendak membicarakan bagaimana Kode Etik juga menunjang instansi penegak hukum membangun profesionalitas dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana.
Penerapan Kode Etik
Sebagai milestone awal, mari kita tengok persoalan kode etik penegak hukum di Amerika dan Singapura. Salah satu artikel yang dimuat oleh situs Kantor Berita Antara(Antaranews.com) pada tanggal 8 September 2009 (lihat : http://www.antaranews.com/berita/1260272776/membunuh-nafsu-korupsi-dengan-rp40000) telah mendeskripsikan keadaan yang bernuansa positif dan menarik. Disebutkan bahwa Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura melihat uang adalah simbol usaha keras manusia. Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. Mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan namun sering untung karena berkolusi dengan pemangku kebijakan. Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.
Bahkan rambu etik itu ditegaskan secara gamblang, misalnya melalui Office of Government Ethics (OGE) seperti di Amerika Serikat. OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk keuntungan pribadi. Selain itu, semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya boleh menerima hadiah tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar Rp200.000) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp500.000). sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.

Penulis artikel tersebut menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kode etik memegang peranan penting bagi terciptanya akuntabilitas dan profesionalitas penyelenggaraan negara dan dianggap menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat yang antikorupsi pada umumnya dan terjaminnya “due process of law” dalam penegakkan hukum pada khususnya.

Sebagai milestone kedua, Di KPK, Kode etik menjadi standar tingkah laku pegawai yang senantiasa dijaga untuk meningkatkan integritas yang menjadi salah satu nilai dasar pribadi insan KPK. Setiap pelanggaran kode etik ditindak tegas. Selama tahun 2007, telah dilakukan 17 (tujuh belas) audit khusus atas dugaan pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan kewenangan sebagai tindak lanjut dari pengaduan masyarakat. Sedangkan untuk tahun 2008, data yang diperoleh penulis menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) surat perintah tugas audit khusus untuk penanganan dugaan pelanggaran kode etik di KPK sedangkan sampai dengan November tahun 2009 terdapat 11 pelanggaran kode etik.

Tindakan terhadap Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, mantan penyidik KPK yang diproses secara hukum karena melakukan pemerasan dalam penanganan kasus korupsi adalah contoh bagaimana KPK menindak tegas personelnya sendiri. Bahkan, atas laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan 17 pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Antasari Azhar yang kini adalah mantan Ketua KPK telah dilakukan tindakan oleh Komisi Etik KPK. Dua kasus pelanggaran kode etik tersebut sempat “menggoyang” semangat pegawai KPK. Namun, karena policy terhadap pelanggaran kode etik sekeras mungkin dilaksanakan secara “zero tolerance”, KPK mampu terlindungi dari konflik kepentingan yang berpotensi merongrong kewibawaan institusi.

Masih banyak contoh penerapan kode etik di KPK. Bahkan berdasarkan informasi dari narasumber penulis di Internal KPK, banyak pegawai KPK baik dari Unit Sekretariat Jenderal, Pencegahan sampai Unit Penindakan pernah mengalami cobaan kode etik pribadi. Dari yang “biasa-biasa” sampai yang “luar biasa”. Dari tawaran makan siang, tiket perjalanan dan akomodasi gratis sampai pada tawaran wanita, uang, bahkan kepemilikan tambang minyak dan batu bara.
Milestone terakhir, Badan Pembinaan Hukum Nasional merumuskan bahwa dalam rangka pembangunan di bidang Penegakan Hukum dan Reformasi Aparatur diperlukan Sistem rekrutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekrutmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi di bidang peradilan serta optimalisasi standar kode etik profesi hukum di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya serta asosiasi profesi hukum dan juga perlu dilakukan secepatnya sebagai upaya penegakan hukum.

Hal ini menunjukan bahwa pemahaman yang dianut oleh negara kita dalam proses pembangunan aparatur penegak hukum yang profesional selalu diawali oleh penciptaan dan penerapan serta penegakkan kode etik yang disiplin. Sebab, kode etik adalah standar moral yang mengatur sesatu boleh dan tidak boleh. Bisa jadi suatu perbuatan tidak ada hukum yang mengaturnya, tetapi jika kode etik dilanggar, semestinya akan terdapat sanksi sosial yang membuat jera.
Epilog

Salah seorang kolega penulis yang bekerja sebagai Jaksa Penuntut Umum di KPK pernah menyatakan, “saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa peningkatan kesejahteraan akan menjamin peningkatkan profesionalitas penegakkan hukum di Indonesia dan menghindarkan dari peluang korupsi. Sebab, berdasarkan pengalaman sebagai JPU lebih dari 20 tahun menemukan bahwa korupsi banyak terjadi karena keserakahan, bukan karena kurang sejahtera. Mendisiplinkan profesi melalui kode etik yang benar-benar ditegakkan serta pelaksanaan tugas tanpa intervensi kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tugas kita itu lebih ampuh untuk meningkatkan profesionalitas penegakkan hukum.”

Tulisan ini bukan ingin mengesampingkan permasalahan kesejahteraan aparat penegak hukum yang (memang) kurang memadai. Tulisan ini hanyalah bentuk penyadaran bahwa disadari atau tidak, kode etik aparat penegak hukum itu hanya eksis secara formal, namun penerapan dan penegakkannya masih kurang optimal. Penulis berpandangan mendisiplinkan diri pribadi terhadap kode etik menunjukan kelayakan aparat penegak hukum untuk dapat segera “disejahterakan” oleh negara.

20 October 2010

Sosok ANGGODO yang Saya Kenal

ANGGODO (Tokoh Pewayangan) berwujud kera berbulu merah, tetapi dapat berbicara dan beradat - istiadat seperti manusia. Anggada adalah putra Resi Subali dari pertapaan Sunyapringga dengan Dewi Tara, putri sulung Bathara Indra dengan Dewi Wiyati.
Ia berperawakan gagah perkasa dan sangat sakti. Anggodo mempunyai sifat dan perwatakan ; pemberani, cerdik, pandai, tangkas trengginas dan mudah naik darah/pemarah. Sejak bayi Anggodo hidup dalam asuhan pamannya, Prabu Sugriwa, raja kerajaan Gowa Kiskenda, karena ketika Resi Subali meninggal ia masih dalam kandungan. Menjelang pecah perang Alengka, Anggodo dijadikan duta oleh Ramawijaya untuk meminta kepastian Prabu Dasamuka. Dewi Sinta akan diserahkan secara damai, atau akan tetap dipertahankan dan direbut dengan jalan peperangan. Pada saat itu Prabu Rama dan bala tentara kera dari Gowa Kiskenda telah berada di pesanggrahan Suwelagiri, wilayah negara Alengka.
Karena termakan hasutan Prabu Dasamuka perihal kematian Resi Subali yang dibunuh Ramawijaya, Anggodo berbalik akan membunuh Prabu Ramawijaya sebagai balas dendam kematian ayahnya. Tapi akhirnya ia dapat ditundukkan oleh Anoman dan disadarkan Ramawijaya. Anggodo kemudian kembali menyerang Alengka dan berhasil membawa pulang mahkota Prabu Dasamuka. Dalam perang Alengka. Anggodo menunjukkan kegagahannya. Ia banyak membunuh senapati Alengka. Setelah perang Alengka berakhir, Anggodo kembali ke Gowa Kiskenda, kemudian bertapa di pertapaan Sunyapringga sampai akhir hayatnya.

17 October 2010

Alasan Saya Mengatakan RPP Penyadapan Cacat Hukum dan Inkonstitusional

Tim Perumus RPP Penyadapan di bawah naungan Kementerian Kominfo masih getol menggolkan RPP Penyadapan menjadi PP. Padahal sudah banyak yang menilai bahwa RPP Penyadapan akan mempersempit ruang gerak aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan penanganan gerak cepat. beberapa kelompok masyarakat yang dahulu ramai memperbincangkan hal ini sudah mengalihkan isu yang diembannya dengan isu pemilihan Kapolri.

Saya sendiri belum pernah membaca isi RPP Penyadapan, namun secara tegas saya berada pada posisi yang berbeda dengan Kemkominfo mengenai "bentuk" pengaturan penyadapan ini. Beberapa alasan yang untuk saat ini (- kemungkinan berkembang) dapat saya kemukakan adalah :

Pertama, Pasal 28 J UUD 1945 menyatakan bahwa :
" Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Pasal ini berbicara tentang HAM, disebutkan secara tegas disitu apabila suatu HAM akan dilakukan pembatasan, maka bentuk pembatasan tersebut harus ditetapkan dengan UU, bukan dengan bentuk PP, hal ini sejalan dengan apa yang juga dimaksud oleh pasal 8 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, dalam pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 menyatakan bahwa:
”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana
pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang",

Ketiga, di Indonesia setidaknya terdapat sembilan UU yang mengakui adanya kewenangan penyadapan yang dimiliki instansi penegak hukum. UU tersebut adalah:
(1) Bab XXVII WvS Tentang Kejahatan Jabatan, Pasal 430 – 434,
(2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
(3) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(4) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
(5) Perpu No 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
(6) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
(7) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
(8) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
(9) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Mengingat cangkupan yang luas maka sesuai sifatnya, peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dan daya ikat dengan cakupan yang luas sudah seharusnya diatur dengan UU.

Keempat, Penyadapan merupakan salah satu kewenangan penegak hukum (penyelidik, penyidik, JPU, Hakim) yang merupakan ligkup hukum formil dalam sistem peradilan pidana sebagaimana KUHAP. Terkait dengan kewenangan itulah maka sudah seharusnya Penyadapan diatur dengan Undang-Undang sebagai pelengkap kewenangan Penegak hukum yang diatur KUHAP. hal ini pun telah disebut secara tegas dalam pasal 31 ayat (3) UU ITE. Sehingga meminta penegak hukum untuk tunduk kepada RPP Penyadapan adalah suatu hal yang keliru.

16 October 2010

Konsekuensi Penafsiran Keuangan BUMN Masuk ke dalam Lingkup Keuangan Negara Terhadap Doktrin BUMN Sebagai Rechtpersoon

PENDAHULUAN

Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Dikemukakan secara tegas oleh pasal tersebut bahwa, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Bung Hatta sebagaimana dikutip oleh Revrisond Baswir, (“Menggugat Rampokisasi BUMN”), yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan pemerintah) untuk melakukan pengendalian. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan kegiatannya. “Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana—BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggungjawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh negara,” (Hatta, 1963). oleh karena itu keberadaan BUMN merupakan salah satu instrumen campur tangan negara yang memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat di Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”. [1]

Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) [2] menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya.

BUMN dapat berbentuk Perum (Perusahaan Umum) atau Persero (Perusahaan Perseroan).[3] untuk BUMN yang berbentuk Persero merupakan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.4 Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.[5]

Pasal 1 angka 1 UU Perseroan Terbatas menegaskan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian Pasal 7 Ayat (4) UU PT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. [6]

Berdasarkan hal tersebut di atas, BUMN merupakan badan hukum perseroan yang pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta tunduk pada hukum privat. Dan sebagaimana halnya perseroan pada umumnya, BUMN memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara maupun pemegang saham (pemilik), direksi (pengurus), dan komisaris (pengawas).

Disisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan negara salah satunya meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. [7]

Dalam mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD kepada DPR, laporan keuangan perusahaan negara (BUMN) menjadi bagian yang tidak dipisahkan sebagai lampiran dari Laporan keungan pemerintah yang terdiri dari Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan pemerintah. [8] Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. [9]

Tak pelak terjadi perbedaan diantara para ahli hukum untuk mendudukkan apakah keuangan/kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara atau tidak. Pihak yang berpendapat bahwa keuangan/kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara mendasarkan bahwa esensi dari penyertaan negara modal negara yang dipisahkan untuk dimasukkan ke dalam kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik seperti dinyatakan oleh Prof. Sahetapy. Sedangkan pihak yang mengartikan keuangan/kekayaan BUMN tidak masuk keuangan negara terutama bagi BUMN, berpendapat bahwa ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Sehingga kalau ada masalah hukum atau ada kerugian negara yang dialami oleh BUMN, bukan merupakan kerugian negara. Pendapat ini merupakan pendapat Prof. Arifin Soeriaatmadja dan Prof. Erman Radjagukguk. [10]

Dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut, definisi keuangan negara menjadi bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan kekayaan BUMN atau BUMD. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada BUMN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.[11]

Namun dibalik itu semua, menurut penulis terdapat konsekuensi yuridis yang harus kita pilih manakala kita hendak menilai keuangan BUMN sebagai keuangan negara atau bukan. Konsekuensi tersebut erat kaitannya dengan eksistensi sifat badan hukum yang melekat pada BUMN. Hal itulah yang hendak penulis bahas pada makalah ini.


Ajaran Mengenai Badan Hukum

Dalam ilmu hukum ada dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai persona atau sebagai orang.

Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa:Semua Zedelijkelichaam badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi ketentuan perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata-cara tertentu.

Sementara itu, Pasal 1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (1) adanya harta kekayaan yang terpisah, (2) mempunyai tujuan tertentu, (3) mempunyai kepentingan sendiri, dan (4) adanya organisasi yang teratur. Bila dikaitkan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas sebagai badan hukum maka doktrin tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dalam kaitannya kekayaan yang terpisah dari pengurus-pengurusnya, dalam Pasal 82 dalam kaitannya dengan kepunyaan kepentingan sendiri, Pasal 12 huruf b dalam kaitannya mempunyai tujuan tertentu, Pasal 1 butir 2 UUPT dalam kaitannya dengan organisasinya yang teratur.

Menurut pasal 1653 KUH Perdata, badan hukum dapat dibentuk melalui:
Pertama, diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara) melalui pembentukan dengan undang-undang. Sebagai contoh, PT dinyatakan sebagai badan hukum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, koperasi dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perkoperasian, dan yayasan dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Kedua, Diakui oleh kekuasaan umum (negara), seperti organisasi Subak di Bali;
Ketiga, Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan), atau dengan perkataan lain melalui konstruksi perdata.

Dengan melihat dasar pendirian suatu badan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1653 KUHPerdata di atas dapat dibedakan antara badan hukum publik dengan badan hukum privat (perdata). Masuk ke dalam kategori badan hukum publik ialah badan hukum yang dibentuk dengan cara diundangkan (dengan UU) atau dengan cara diakui oleh kekuasaan umum hukum (negara). Sedangkan badan hukum privat ialah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan, dengan konstruksi keperdataan melalui perjanjian.

Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.


KONSEPSI HUKUM KEUANGAN PUBLIK

Secara teoritis, konsep hukum keuangan publik mengandung prinsip kehati-hatian yang luar biasa dalam menentukan pengelolaan dan tanggung jawabnya terutama agar (1) negara tidak melalaikan kewajibannya, (2) warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta (3) badan hukum tidak diingkari kedudukannya.Sedangkan buka ditilik dari sejarahnya, Proudhon, Ahli Hukum Prancis menguraikan teori kedudukan hukum hak kepunyaan publik dan hak kepunyaan privat yakni kepunyaan publik negara adalah benda yang disediakan pemerintah untuk dipergunakan oleh pelayanan publik dan penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara. Dan Kekayaan atau hak kepunyaan publik tidak diatur dalam hukum yang mengatur kepunyaan perdata. [12]

Sedangkan dari kacamata konsep menguasai dalam hukum keungan negara menggariskan bahwa hak kepunyaan publik negara dikuasai (beheren) negara dan dilakukan pengawasan (toezichtouden) oleh alat negara. Hal ini berarti berarti bahwa benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi obyek perjanjian perdata. Disamping itu, Sifat hukum (rechstkarakter) kepunyaan publik negara ditujukan pada benda atau kekayaan yang digunakan untuk penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik. Dan sebagai konsekuensinya, Hak kepunyaan perdata biasa yang tunduk pada peraturan perdata tidak dapat dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan atau dikuasai negara, apalagi diklasifikasikan sebagai milik negara (staatseigenaar). [13]

Sedangkan Hobbes mengatakan bahwa Barang publik adalah yang digunakan untuk membiayai negara pengatur yang fungsi ekonominya terbatas pada fungsi memelihara ketertiban umum dan keamanan nasional. Negara akan ‘membisu’ sepanjang menyangkut subansi perdagangan dan kontrak antar-individu. [14]


Analisa Teoritis Yuridis

Dari konsep yuridis dan teoritis tersebut dapat dianalisa bahwa penafsiran keuangan BUMN masuk ke dalam lingkup keuangan negara akan membawa konsekuensi bahwa BUMN akan kehilangan statusnya sebagai sebuah badan hukum. Sebab, dengan mengatakan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara berarti Negara-lah yang menjadi Subjek Hukum atas keuangan BUMN. Dengan demikian BUMN menjadi tidak memenuhi syarat sebagai subyek hukum terkait kepemilikan atas kekayaannya sendiri dan tidak terpisahnya kekayaan yang dimiliki oleh BUMN dengan kekayaan/keuangan negara.

Lebih lanjut, pertanggungjawaban korporasi menjadi tidak berlaku atas BUMN. Sebab, pertanggungjawaban korporasi muncul dari sebuah pengakuan BUMN sebagai Badan hukum subjek hukum. Manakala terjadi suatu dispute antara BUMN dengan badan hukum lain dalam lingkup keperdataan maka Direksi yang mewakili BUMN pada hakikatnya duduk atas nama Presiden sebagai perwakilan Negara. Dan dalam lingkup hukum pidana, maka perbuatan pengurusnya yang dianggap melanggar hukum harus dianggap sebagai perbuatan masing-masing individu sebagai subyek hukum.

Jika ditelaah lebih dalam, memberikan pengaturan yang begitu mengikat atas kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara dapat dilihat sebagai bentuk ketidakpercayaan Pemerintah/negara kepada pengelolaan BUMN sebagai unit usaha pemerintah.


Penutup

Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa meyakini penafsiran keuangan BUMN masuk ke dalam lingkup keuangan negara akan membawa konsekuensi terjadinya pengingkaran atas suatu perundangan dengan dengan perundangan lainnya; dan doktrin hukum yang satu dengan doktrin hukum lainnya. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya pelurusan konsep keuangan negara atas kekayaan BUMN diarahkan kepada kemandirian BUMN sebagai sebuah badan hukum dengan memberikan kepercayaan penuh negara kepada pengurus BUMN untuk mengelola kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai modal untuk menciptakan pemasukan bagi negara.

------------------------------------------------------------------

[1] Revrisond Baswir, Menggugat Rampokisasi BUMN, sebagaimana di upload dalam situs Rumah Cerdas Nusantara (lihat : http://rcn56.blogspot.com/2009/10/menggugat-rampokisasi-bumn.html?zx=a9eee4650f455b7f) diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.
[3] Ibid., pasal 9.
[4] Ibid., pasal 1 angka 2
[5] Ibid.
[6] Ibid, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.
[7] Ibid., Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, pasal 2.
Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
[8] Ibid., pasal 30.
[9] Ibid. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, pasal 1.
[10] Maqdir Ismail. Rambu Pidana Bagi Pimpinan BUMN., mengutip berita dari Hukumonline.com edisi 31 Juli 2006, sebagaimana diupload dalam situs media online gagasanhukum.wordpress.com (lihat di http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/11/27/rambu-pidana-bagi-pimpinan-bumn-bagian-iii/) diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
[11] Arifin Soeriaatmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hal. 69.
[12] Dian P. Simatupang, Hak Menguasai Negara dalam Keuangan Publik, Konsep, Teori Dan Praktik, Bahan Perkuliahan Hukum Anggaran Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2 0 0 7, sebagaimana diupload dalam http://staff.ui.ac.id/internal/0506050063/material/HAKMENGUASAINEGARA.ppt.; diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
[13] Ibid.
[14] Ibid.

07 October 2010

Harapan Keshalihan untuk Aisy Muhammad Hafiy


Aisy...
Sebagai ayah Abi sangat yakin bahwa meletakkan beban harapan ke pundakmu akan menjadi sia-sia jika tidak berusaha merealisasikan beban harapan itu terlebih dahulu. Karena sesungguhnya yang membuat seseorang tergerak melakukan sebuah amal adalah kesadaran dan ketauladanan.


Dari hati yang paling dalam Abi hanya ingin kamu menjadi anak yang Sholeh. Dan untuk menjadi sholeh tidak akan mungkin tercipta kalau Abi tidak terlebih dahulu menjadi sholeh dan mendorong kamu menjadi sholeh.

di bulan ini kamu genap berusia 2 (dua) tahun. Doakan Abi menjadi pribadi yang sholeh ya,.. dan menularkan kesholehan itu kepada kamu.

15 September 2010

Sebait Proklamasi Umar Bin Khattab

Pagi ini merupakan pagi pertama aku masuk kerja setelah Cuti Iedul Fitri 1431 H. Ketika ku bersiap untuk menyegarkan tubuh, Kisah Umar bin Khattab menyapa genderang inspirasiku. Imajinasiku melayang seakan-akan aku menjadi bagian dari peristiwa yang di-Riwayat-kan oleh Ali Bin Abi Thalib ketika Seorang Umar Bin Khattab sedang mempersiapkan diri melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk Hijrah ke Madinah (d/h Yatsrib).
Seakan-akan aku melihat Umar sedang berdiri di dekat Ka'bah. Ia berseru dengan lantang kepada Masyarakat Quraisy yang menjadi penentang Agama yang dianutnya dengan suara yang penuh wibawa,

"Ya ma'syaral Quraisy (wahai orang-orang Quraisy), ketahuilah bahwa sesungguhnya Aku, Umar bin Khattab, akan melaksanakan Hijrah ke Yatsrib esok hari. Maka barang siapa yang menginginkan Ibunya kehilangan anaknya, atau Istrinya menjadi Janda, atau anaknya menjadi yatim, maka hadanglah aku esok hari".

Atas ucapan Umar Bin Khattab tersebut, Imajinasiku melihat wajah orang-orang Quraisy yang menunjukkan keengganannya untuk menghadang Umar Bin Khattab berhijrah ke Madinah. Wajah-wajah enggan itu menyiratkan ketakutan. Sebab, mereka memahami bahwa menghadang Umar untuk berhijrah itu berarti menjemput sendiri kematian mereka.
Lalu aku pun terhentak dari Imajinasi itu, bergegas mengalirkan air untuk membersihkan dan menyegarkan tubuh sebelum berangkat beraktifitas. Sambil mengucap basmalah dalam hati, aku bersyukur bahwa inspirasi pagi ini ini adalah sebait proklamasi hijrah dari salah satu Amirul Mu'minin.

23 August 2010

IDEALISME KAMI

"Idealisme Kami" adalah istilah yang sedang marak. Beberapa forum dan jaringan antar lembaga terutama yang bernuansa Islami ramai-ramai menjadikan "Idealisme Kami" sebagai salah satu karakter yang hendak dicapai atau background pembentukan. Lalu dari apakah "Idealisme Kami" itu? mengapa banyak sekali orang yang menggunakannya?
Sependek pengetahuan saya, "Idealisme Kami" merupakan karya orisinal Hasan Al Banna, seorang pendiri Organisasi Ikhwanul Muslimun di Mesir. "Idealisme Kami" sebenarnya adalah bagian dari buku yang ditulis Hasan Al Banna yang berjudul "Majmu'atur Rasail" yang dalam terbitan Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "Risalah Pergerakan". Pada sebuah Sub judul buku tersebut tertuliskan "Idealisme Kami" yang kemudian banyak dicuplik oleh orang-orang atau organisasi-organisasi yang kepincut dengan keindahan sastra karya Hasan Al Banna ini.
Organisasi yang pertama menggunakan "Idealisme Kami" adalah sebuah Program Pembinaan Sumber Daya Strategis (PPSDMS) yang pada awalnya di bawah naungan Yayasan Nurul Fikri. lama kelamaan Program ini mampu berdiri sehingga lepas dari yayasan induk (Nurul Fikri) dan menjadi Yayasan Bina PPSDMS NF. Dengan sedikit penyesuaian, PPSDMS NF meminjam Sub bagian dari Buku Hasan Al Banna tersebut dan memperkenalkannya sebagai karakter Organisasi sehingga "Idealisme Kami" dikenal luas sampai dengan sekarang.
Ternyata PPSDMS Nurul Fikri dengan "Idealisme Kami"-nya telah mempengaruhi sebuah Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) sehingga FSLDK tak mau ketinggalan menggunakan istilah ini dalam Risalah Manajemen Dakwah Kampus FSLDK Indonesia (lihat di sini http://mohdabdarif.blogspot.com/2010/02/idealisme-kami-fsldk.html ).
Lalu, sebenarnya apa sih bunyi "Idealisme Kami" itu?
Saya sendiri sangat kagum dengan kedalaman dan keindahan bahasa sastra bait-bait-nya. Bahasanya begitu menyentuh dan tulus. Saya tulis di dalam Blog saya ini dengan kekaguman dan berharap saya adalah penutur asli dari kalimat-kalimat tersebut. Atau, setidak-tidaknya "Idealisme Kami" terpatri dengan indah di relung hati saya.
Mudah-mudahan kalimat ini membawa nuansa perubahan di Bumi Indonesia.
-----------------
IDEALISME KAMI

Betapa inginnya kami
agar bangsa ini mengetahui
bahwa mereka lebih kami cintai
daripada diri kami sendiri.
Kami berbangga,
ketika jiwa-jiwa kami gugur
sebagai penebus bagi kehormatan mereka,
jika memang tebusan itu yang diperlukan.
Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan,
dan terwujudnya cita-cita mereka,
jika memang itu harga yang harus dibayar.
Tiada sesuatu
yang membuat kami bersikap seperti ini
selain rasa cinta
yang telah mengharu-biru hati kami,
menguasai perasaan kami,
memeras habis air mata kami,
dan mencabut rasa ingin tidur
dari pelupuk mata kami.
Betapa berat rasa di hati
ketika kami menyaksikan
bencana yang mencabik-cabik bangsa ini,
sementara kita hanya menyerah pada kehinaan
dan pasrah oleh keputusasaan.
Kami ingin
agar bangsa ini mengetahui
bahwa kami membawa misi yang bersih dan suci;
bersih dari ambisi pribadi,
bersih dari kepentingan dunia,
dan bersih dari hawa nafsu.
Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia;
tidak mengharap harta benda
atau imbalan lainnya,
tidak juga popularitas,
apalagi sekedar ucapan terima kasih.
Yang kami harap adalah
terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat
serta kebaikan dari Allah-Pencipta alam semesta.

Satu Lagi Sentuhan Halus di Hari Kemerdekaan

Pagi ini saya coba untuk membuka salah satu akun email di gmail, dan yahoo. Tujuan saya cuma satu, kepada siapa lagi saya bisa menyambung silaturahim di pagi ini. Mudah-mudahan dapat satu atau dua Sahabat yang bisa disapa.
Email yang menempati urutan pertama pada akun gmail berasal dari Sahabat satu kantor. Isinya sebuah Teguran halus yang mengingatkan betapa besarnya bangsa Indonesia. email itu mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara kaya. Kaya akan potensi alam, kaya akan budaya, kaya akan keberagaman, kaya akan potensi Sumber daya manusia, dan lain-lain.

Namun kekayaan yang dimiliki itu ternyata belum (atau tidak) bisa dikelola dengan baik oleh bangsa ini sebagai salah satu kekuatannya, belum (atau tidak) bisa mensejahterakan bangsa. Kekayaan itu juga tidak menjadikan Bangsa ini menghargai nuansa-nuansa perjuangan kemerdekaan yang telah dicapai oleh para Pahlawan yang (sekali lagi) tidak pernah memikirkan keuntungan yang didapat untuk dirinya.

Sahabat,.. saya harap tidak terlalu banyak mengumbar kata. Semoga Sahabat sekalian bisa menangkap hal ini. Dan biarlah gambar yang berbicara.


Foto disamping adalah kondisi tambang emas PT. Freeport (Tambang emas terbesar di Dunia). Bayangkan, Tambang Emas terbesar di Dunia ada di Papua, Indonesia. Gunung Emas telah diangkat dari Bumi Papua, Indonesia ke Luar negeri (pasti Sahabat sekalian sudah tahu negara yang saya maksud). Tapi, kenapa tambang logam yang identik dengan simbol kemakmuran itu tidak bisa memberikan imbas kemakmuran bagi Indonesia sebagai sebuah negara, atau paling tidak para penduduk lokal di Papua mengalami Indahnya pembangunan di bagian Timur Indonesia.

Gambar lain yang juga menyentil hati adalah gambar di samping. Tak pelak, gambar ini menciptakan dialog antara hati dan nalar saya, "sedang apa bapak tua itu? makan nasi bungkus dengan menggunakan seragam Veteran Perang Kemerdekan. Dalam rangka apa? Peringatan Resmi Hari Kemerdekaan-kah??? Seragam Veterannya tampak masih bagus, namun sepatu yang digunakannya lebih mirip sepatu boot yang biasa digunakan untuk berkotor-kotor di genangan yang kotor.


Jika Bapak Tua itu memang Veteran yang sedang mengikuti Acara Resmi, sepatutnya dia mendapat perlakuan lebih baik dari Penyelenggara Negara di Negeri ini. Tapi, Entahlah...


Mudah-mudahan sentuhan halus ini bisa memberikan bekas di hati para Sahabat Pembaca sekalian...


22 Agustus 2o10

Untuk Bumi Indonesia Tercinta..