Beranda

28 November 2011

Koran tentang Saya



Iseng-iseng nyari tentang diri sendiri di google. Eh ketemu sama beginian. Ga nyangka sama sekali ternyata masuk koran juga. Soale sewaktu monitor koran Media Indonesia pasca diwawancara sama Mas Fauzi (wartawan Media Indonesia), ga nemu-nemu. Padahal, dijanjiin bakalan nongol di koran edisi berikutnya alias seminggu kemudian. setelah hopeless nungguin, saya pasrah bahwa ga bakalan masuk koran. Tujuh tahun kemudian, dengan kecanggihan mesin pencari (google) ditemukanlah kliping sebagaimana tertera di blog ini.

07 September 2011

SUGIH TANPO BONDO

Alhamdulillah, hari ini saya dapat ilmu lagi. Sebuah ilmu filsafat hidup (filosofi) yang berasal dari suku jawa. Filosofi tersebut baru belakangan ini saya dengar meskipun saya merupakan keturunan jawa dan dibesarkan dalam budaya jawa yang kental. Pada kesempatan halal bi halal di kantor, pemahaman mengenai filosofi ini menjadi lebih terasa.

Filosofi jawa tersebut berbunyi seperti ini:

Sugih tanpo bondo
Digjoyo tanpo adji
Nglurug tanpo bolo
Menang tanpo ngasorake
Trimah mawi pasrah
Suwung pamrih tebih adjrih
Langgeng tan ono susah tan ono bungah
Anteng manteng sugeng djeneng

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka kurang lebih filosofi tersebut berbunyi:

Kaya tanpa harta
Tak terkalahkan tanpa kesaktian
Menyerbu tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Menerima juga pasrah
jika tanpa pamrih tak perlu takut
Tetap tenang meskipun ada duka dan ada suka
Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga.

Setelah ditelusuri di internet, ternyata filosofi ini merupakan dipopulerkan oleh seorang Sosrokartono. Sosrokartono (1877-1952) memiliki nama lengkap Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia adalah kakak dari pahlawan Indonesia, RA Kartini. Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Sejak 1897 sampai 1926, ia mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Setelah tidak menjadi mahasiswa Universitas Leiden, ia menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.

Sepulang dari eropa, Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat oleh Ki Hajar Dewantara menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional Taman Siswa di Bandung.

Setelah wafat, ia memilih kata-kata bijak dalam bahasa jawa untuk dipampang di nisannya. Pilihannya jatuh kepada kata-kata filosofis sebagaimana tersebut di atas. Hingga kini, ungkapan filosofi tersebut masih jelas terpampanglah pada nisannya.




17 February 2011

SAYA ANTI DEMOKRASI (oleh Emha Ainun Najib)

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massaBarat atas kesunyatan Islam. Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap. Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri. Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.