Beranda

19 December 2012

Menapak Jejak Birokrasi Pensertifikatan Tanah (bersambung..)

Sudah beberapa bulan ini saya sempatkan waktu di jam-jam kerja untuk mengurus pensertifikatan tanah dan rumah yang saya beli beberapa tahun lalu. Dengan bekal semangat, uang pas-pasan, dan sedikit mengesampingkan "rasa butuh" akan Sertifikat Hak Milik. Dengan mantab saya menapaki birokrasi pelayanan publik pendaftaran tanah. Harapan saya, permohonan sertifikat tanah dan rumah saya akan mulus tanpa halangan berarti.

Bismillah.., paradigma yang saya tanamkan dalam hati adalah setiap instansi pemerintah yang bersentuhan dengan pengurusan hak atas tanah memiliki jiwa pelayanan publik, berintegritas dan tidak "membuat susah apa yang seharusnya mudah". Kalaupun ujung-ujungnya rumah saya tidak bisa disertifikatkan karena alasan "kurang gizi" dalam prosesnya, saya sudah siap.

Mencari informasi di Internet tentang Larasita adalah langkah yang pertama kali saya lakukan. berdasarkan informasi yang saya peroleh di Internet, Larasita bukan pemutihan, tapi program untuk mendekatkan loket permohonan kepada masyarakat yang hendak mengurus persoalan administrasi tanah yang dimilikinya. Biayanya sama dengan program reguler yang dilakukan di kantor pertanahan. Begitu bunyi informasi di internet.

Alhamdulillah, berkas-berkas yang diperlukan hampir lengkap sejak pembelian. Pada jadwal yang telah ditetapkan, Tim Larasita pun berkunjung ke Kelurahan. Kesempatan ini pun tidak saya sia-siakan. Saya ikut mengantri menunggu panggilan setelah menaruh berkas-berkas yang disyaratkan.

ketika giliran tiba, petugas Larasita mengatakan bahwa berkas saya kurang lengkap. Girik itu harus ada aslinya. Sementara girik (letter C) yang saya miliki hanya fotokopi. Lalu, saya tanya. "dimanakah bisa saya peroleh Girik yang asli tersebut, Pak?". "minta saja sama pemilik sebelumnya, atau pemilik induk girik tersebut". Alhasil, saya pulang tanpa mendapat progres sedikit pun.

Setibanya dirumah, saya menghubungi salah satu pejabat kelurahan untuk meminta informasi keberadaan Girik yang saya butuhkan. Namun, bukan informasi yang saya peroleh melainkan tawaran percaloan tanah. "sudah begini saja, saya saja yang urus semuanya, dijamin sertifikat selesai dalam 6 bulan. biayanya Rp. 4 juta", kata pejabat kelurahan tersebut. "saya pikir dulu deh, pak", Jawab saya singkat. Setelah menutup telepon saya pun bergegas berangkat ke kantor meskipun hari sudah siang (pukul 11.30 WIB).

Beberapa hari kemudian saya menghubungi pemilik asal rumah yang saya diami dan meminta apakah masih menyimpan Girik asli atas tanah yang dijual kepada saya. Hasil perbincangan, Pak Haji (pemilik asal) mengatakan bahwa giriknya sudah hilang, namun hal tersebut sudah dilaporkan kepada Kepolisian dan ada surat pernyataan hilang yang ditandatangani oleh Kapolsek. Jika yang diminta hanya fotokopi, beliau pun berkenan memberikan fotokopinya kepada saya. Saya pun kemudian meminta fotokopi tersebut dan pamit.

Ketika jadwal Larasita di Kelurahan tiba, saya kembali mengajukan permohonan. Petugas BPN bilang, "Surat keterangan hilang-nya ada yang aslinya, ga? kalo tidak ada aslinya, tidak bisa diproses". Saya pun menjawab, "Saya ga punya pak. Tapi kalau pemilik aslinya, saya tidak tahu. kalaupun ada, itu kan untuk keperluannya beliau sewaktu-waktu ingin mensertifikatkan tanahnya. Lalu, kalo saya mau mengajukan pensertifikatan tanah bagaimana pak? Apa harus buat surat hilang juga? kan saya tidak kehilangan apapun". "Kalo gitu, coba ke Polisi, minta legalisir suratnya", jawab petugas BPN.

Saya pun ke Polres Jakarta Selatan ke Unit Harta Benda. "Mana bisa surat kehilangan dilegalisir, belum pernah ada hal seperti ini. Memang ini untuk apa? tanya Bintara Polisi yang saya temui. "untuk syarat pensertifikatan tanah di BPN" jawab saya. Ketika Kanit-nya lewat, sang Bintara Polisi bertanya, "Mohon ijin Ndan, bapak ini minta legalisir surat kehilangan. Bisa tidak?". Orang yang dipanggil "Ndan" tersebut menjawab, "mana bisa, belum pernah ada hal seperti itu" sambil berlalu meninggalkan sang bintara polisi. Setelah itu saya pun pamit meninggalkan Polres menunju Kelurahan untuk menemui petugas BPN.

Di Kelurahan, saya menemui petugas BPN yang meminta saya ke Polisi dan menyampaikan bahwa legalisir surat kehilangan belum pernah terjadi dan tidak biasa dilakukan. Petugas BPN itu pun kemudian mengatakan, "Coba minta yang aslinya kepada pemilik asalnya, kalo tidak ada saya tidak bisa memproses permohonan sertifikat Saudara". Setelah itu saya pun kembali melanjutkan aktifitas saya yakni bekerja di kantor.

Gumam saya, kalo begini saya akan coba mendaftar secara langsung ke kantor BPN. Siapa tahu prosesnya akan lebih mudah.

(bersambung...) (tulisan ini dibuat sekitar bulan Desember 2010)

Menapak Jejak Birokrasi Pensertifikatan Tanah (Bag. 2)

setelah mendapatkan masukan dari Petugas Polisi Polres Jaksel unit Harda, beberapa hari setelahnya saya mendatangi "pemilik asal" tanah tempat rumah saya berdiri. Ia adalah seorang Haji keturunan Betawi Asli yang menurut informasi pemilik rumah saya sebelumnya orangnya rese'. Pemilik rumah saya sebelumnya, sebut saja ia Bu Mawar, bilang bahwa sewaktu ia meminta kelengkapan surat-menyurat untuk jual beli rumah yang saya diami saat ini sempat dimintai uang Rp.1juta oleh pak Haji untuk mendapatkan surat fotokopi girik (letter C). Kebayang terus omongan si Bu Mawar saat menuju rumah pak Haji, tapi bismillah, the mission must be complished.

"Assalamu 'alaikum" sapa saya di depan rumah pak Haji. Kemudian dari dalam rumah muncul seorang ibu-ibu muda sambil bertanya, "ya, ada apa ya Mas?". saya pun menjawab, "mau ketemu pak Haji bu". Akhirnya, bertemulah saya dengan Pak Haji tersebut. Setelah saya ceritakan maksud dan kepentingan saya, pak Haji pun bilang, "oh, jadi situ yg beli rumah si Ribut?". saya pun menjawab, "Ribut siapa pak Haji?" "ya si Mawar itu" sambil menjelaskan kenapa ia menyebut Bu Mawar dengan "Ribut" serta cerita-cerita lain versi dirinya yang saya tidak ambil pusing siapa yang benar di antara keduanya.

Setelah mendapatkan fotokopi surat pernyataan hilang dari Kapolres Jaksel yang ternyata terbit tahun 1994, saya pun mohon pamit dari pak Haji sambil mencium tangannya sebagai penghormatan dan terima kasih anak yang lebih muda ke orang yang lebih tua (padahal waktu datang saya tidak cium tangan, lho...). Degan berbekal fotokopi surat kehilangan tersebut, saya maju kembali ke BPN Jaksel untuk mengurus supaya rumah saya dapat diterbitkan sertifikat.
"Saya izin telat datang ke kantor, Pak. Saya sedang mengurus Sertifikat tanah/rumah saya di BPN Jaksel", begitu isi sms saya ke atasan di Kantor sebelum berangkat ke BPN Jaksel. Tak lama sms balasan pun masuk,"OK". Setelah itu berangkatlah saya ke Kantor BPN Jaksel yang berada satu gedung dengan Kantor Walikota Jakarta Selatan.

Di BPN saya antri di loket untuk mengajukan berkas. Berkas pun harus dimasukkan ke dalam map khusus seharga Rp 10rb/map yang dibeli di koperasi Kantor BPN. Setelah diperiksa kelengkapannya oleh petugas BPN, saya pun diminta untuk membayar biaya pendaftaran tanah untuk pertama kali. Biayanya sekitar Rp 600 rb-an (tergantung luas bidang tanah) yang meliputi biaya pendaftaran, pengukuran, dan pengakuan.

Setelah membayar, saya diarahkan untuk meminta pencetakan peta lokasi dari salah satu loket yang ada di kantor BPN. Setelah dicetak, peta tersebut dilampirkan dalam berkas permohonan.

Setelah itu, petugas loket pendaftaraan menyampaikan supaya saya kembali lagi minggu depan untuk mengecek berkas permohonan untuk dilakukan pengukuran. "nanti langsung aja ke lantai 8 ya, ketemu dengan Mrs. X, cek prosesnya sudah sampai mana", begitu katanya.

Semingggu kemudian, saya datang lagi ke Kantor BPN. Langsung menuju lantai 8 untuk menemui Mrs. X. Saya kira akan ada loket di lantai 8, ternyata tidak. Pertemuan dilakukan dalam ruang kerja pegawai BPN. Teringat dalam benak saya salah satu poin upaya reformasi pelayanan publik yang didengung-dengungkan Unit Pencegahan di tempat saya bekerja, yaitu Mengurangi interaksi langsung antara pemohon dan petugas. Dan ternyata, di kantor ini aplikasi teori itu tidak diterapkan.

Saya masuk ke ruang kerja pegawai BPN dan menemui Mrs. X di mejanya. "Permisi bu, saya hendak menanyakan berkas permohonan saya, ini kwitansi pendaftarannya", sapa saya setelah berada di depan meja Mrs. X. Dengan sigap Mrs. X meraih mouse komputernya dan mengecek kode-kode dalam kuitansi pembayaran yang saya berikan. "oh, sudah selesai, Mas. Petugas ukurnya adalah Mr. Z, ini no hp-nya, silahkan dihubungi untuk membuat perjanjian dengan ybs. orang-nya belum datang", kata Mrs. X sambil menuliskan no hp Mrs. Z di kwitansi pembayaran.

Setelah pamit, saya pun keluar dari ruang kerja pegawai BPN di Lt. 8 untuk berangkat ke kantor. Sambil menunggu lift, saya sempatkan menyapa salah satu pemohon. Siapa tahu dapat info berharga. "lagi ngurus sertifikat juga ya mba?" sapa saya. "iya", jawabnya singkat. Perbincangan pun saya lanjutkan untuk menggali informasi yang ingin saya dapatkan mengenai proses pensertifikatan ini.

Dari perbincangan itu, saya memperoleh informasi bahwa si Mba adalah pegawai Kantor Notaris yang sedang mengurusi pensertifikatan kliennya. Dia menjelaskan bahwa biaya pensertifikatan untuk pertama kali dengan menggunakan jasa kantor Notaris tempat dia bekerja adalah sebesar Rp 15-20 jt, tergantung luas tanah. Kenapa besar, karena nanti ada biaya yang diminta oleh salah pegawai kantor BPN di lantai 10 bila ingin sertifikat diterbitkan. Besaran biaya yang diminta sekitar Rp 6 - 10 jt, tergantung luas tanah.

"Trus, kalau ngurus sendiri seperti saya, selama proses pensertifikatan, berapa biaya yang harus saya siapkan untuk "ngasih" orang BPN, Mba?" tanya saya. Mba itu menjelaskan, untuk pengukuran, dia biasa ngasih Rp 300-500rb ke petugas ukur sampai terbit peta ukur. Setelah peta ukur jadi, mba itu biasa memberikan Rp 100 rb untuk mengambil peta ukur. Dan beberapa ratus ribu lagi sampai gambar aspek jadi. Setelah itu, baru neh akan dimintai uang sebesar 6-10 jt di lantai 10 bila sertifikatnya hendak diterbitkan/ditandatangani. Belum lagi aparatur kelurahan yang juga akan minta bagian setiap meminta tandatangan.

Secara kebetulan, petugas ukur yang ditunjuk untuk permohonan saya dan mba itu merupakan orang yang sama. Dan Mba itu sudah janjian sebelumnya dengan petugas ukur tersebut. Akhirnya, saya memutuskan untuk menunggu sang petugas ukur bersama dengan Mba pegawai notaris itu.

Ketika menemui petugas ukur, Mr. Z meminta dilakukan pengukuran pada hari itu. Kebetulan jadwal dia kosong pada hari itu. Karena tidak siap mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi, saya pun berdalih kalau hari itu saya tidak bisa. Saya berjanji akan menghubungi Mr. Z untuk membuat janji dengan menyesuaikan waktu Mr. Z. Sampai 3 minggu kemudian saya belum menghubungi Mr. Z. Sampai akhirnya di suatu siang, ada "cumi" (cuma miskol - meminjam istilah iklan "indosat") dari nomor Mr. Z. Saya pun menghubungi no Mr. Z tersebut dan membuat janji pada hari jumat (2-3 hari kemudian) sekitar pukul 1o.00 WIB.

Pada hari jumat yang telah ditentukan, saya izin kembali ke atasan untuk telat datang ke kantor. Pada pukul 8, saya mengkonfirmasi kesediaan Mr. Z untuk melakukan pengukuran rumah/tanah saya, dan ybs pun bersedia. Pukul 10.30 Mr.Z belum datang. Pada pukul 10.45, ada "cumi" dari Mr. Z. Ketika saya hubungi, dia sudah tidak jauh dari rumah saya dan minta dipandu ke lokasi. Saya pun segera, menjemput Mr.Z yang katanya datang bertiga dengan rekannya dan menggunakan mobil ini.

Saya pun segera meluncur ke lokasi yang digambarkan Mr.Z menggunakan ":si Iteum" (Motor Bajaj Pulsar 200cc tahun 2008 milik saya). Saya berpikir, pasti Mr. Z ini menggunakan kendaraan operasional BPN, jadi mudah saya kenali. Jauh dari Dugaan saya, Mr. Z ini tidak menggunakan kendaraan operasional melainkan kendaraan pribadi, Suzuki Swift tahun 2010. Mr. Z sendiri yang mengendarai, jelas terlihat kendaraan ini adalah miliknya.

Jujur sejujurnya, antara senang dan bingung. Dalam bayangan saya, yang menjadi petugas ukur bukan pegawai golongan tinggi, datang dengan kendaraan operasional kantor. Alhamdulillah, ternyata yang datang orang yang secara ekonomi tidak susah, punya mobil. Jadi berkurang beban saya untuk tidak memberi uang.
(tulisan ini dibuat sekitar bulan Februari 2011)

28 November 2011

Koran tentang Saya



Iseng-iseng nyari tentang diri sendiri di google. Eh ketemu sama beginian. Ga nyangka sama sekali ternyata masuk koran juga. Soale sewaktu monitor koran Media Indonesia pasca diwawancara sama Mas Fauzi (wartawan Media Indonesia), ga nemu-nemu. Padahal, dijanjiin bakalan nongol di koran edisi berikutnya alias seminggu kemudian. setelah hopeless nungguin, saya pasrah bahwa ga bakalan masuk koran. Tujuh tahun kemudian, dengan kecanggihan mesin pencari (google) ditemukanlah kliping sebagaimana tertera di blog ini.

07 September 2011

SUGIH TANPO BONDO

Alhamdulillah, hari ini saya dapat ilmu lagi. Sebuah ilmu filsafat hidup (filosofi) yang berasal dari suku jawa. Filosofi tersebut baru belakangan ini saya dengar meskipun saya merupakan keturunan jawa dan dibesarkan dalam budaya jawa yang kental. Pada kesempatan halal bi halal di kantor, pemahaman mengenai filosofi ini menjadi lebih terasa.

Filosofi jawa tersebut berbunyi seperti ini:

Sugih tanpo bondo
Digjoyo tanpo adji
Nglurug tanpo bolo
Menang tanpo ngasorake
Trimah mawi pasrah
Suwung pamrih tebih adjrih
Langgeng tan ono susah tan ono bungah
Anteng manteng sugeng djeneng

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka kurang lebih filosofi tersebut berbunyi:

Kaya tanpa harta
Tak terkalahkan tanpa kesaktian
Menyerbu tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Menerima juga pasrah
jika tanpa pamrih tak perlu takut
Tetap tenang meskipun ada duka dan ada suka
Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga.

Setelah ditelusuri di internet, ternyata filosofi ini merupakan dipopulerkan oleh seorang Sosrokartono. Sosrokartono (1877-1952) memiliki nama lengkap Raden Mas Panji Sosrokartono. Ia adalah kakak dari pahlawan Indonesia, RA Kartini. Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Sejak 1897 sampai 1926, ia mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Setelah tidak menjadi mahasiswa Universitas Leiden, ia menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.

Sepulang dari eropa, Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat oleh Ki Hajar Dewantara menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional Taman Siswa di Bandung.

Setelah wafat, ia memilih kata-kata bijak dalam bahasa jawa untuk dipampang di nisannya. Pilihannya jatuh kepada kata-kata filosofis sebagaimana tersebut di atas. Hingga kini, ungkapan filosofi tersebut masih jelas terpampanglah pada nisannya.




17 February 2011

SAYA ANTI DEMOKRASI (oleh Emha Ainun Najib)

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massaBarat atas kesunyatan Islam. Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap. Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri. Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.


27 October 2010

Seberapa Kaya Umar Bin Khattab

Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa hanya ada dua sahabat Rasul yang benar-benar sangat kaya, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Namun sebenarnya, sejarah juga sedikit banyak seperti “mengabaikan” kekayaan yang dipunyai oleh sahabat-sahabat yang lain.

Ingat perkataan Umar bin Khattab bahwa ia tak pernah bisa mengalahkan amal sholeh Abu Bakar? Itu artinya, siapapun tak bisa menandingi jumlah sedekah dan infaqnya Abu Bakar As-Shiddiq.

Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya.

Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.

Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan.

Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah! Semoga kita bisa meneladani Umar bin Khattab.
(sa/berbagaisumber/Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab/khalifa)

23 October 2010

Antara Kode Etik dan Kesejahteraan Aparat Penegak Hukum

Prolog
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh seorang Polisi berpangkat Komisaris Besar Polisi (penulis temukan melalui browsing di Internet) menyebutkan bahwa bekerjanya sistem hukum di KPK bisa terlihat optimal karena dari segi kesejahteraan, personil di KPK sangat terdukung oleh gaji/insentif yang diterima para petugas KPK, yang tentunya sangat berbeda jauh dari gaji/insentif yang diterima oleh para penyidik Polri atau Kejaksaan yang bekerja di institusinya masing-masing. Selain itu, sarana dan fasilitas pendukung operasional KPK, sangat berbeda bila dibandingkan dengan sarana dan fasilitas pendukung operasional yang diterima oleh penyidik Polri dan Kejaksaan di instansinya masing-masing. Hal ini berdampak pada lengkapnya hasil penyelidikan dan penyidikan sehingga persidangan kasus-kasus yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor sangat mendukung sistem pembuktian di sidang pengadilan. Tentunya hal tersebut bisa tercipta karena dukungan sarana dan fasilitas APBN yang mencukupi. (Lihat : http://bekasinews.com/ serba-sebi/opini/485-pembangunan-aparatur-penegak-hukum.html).

Hal ini merupakan hipotesis yang menurut penulis kurang lengkap dan perlu untuk diberikan pelengkapnya supaya utuh. Sebab, permasalahan kesejahteraan dan dukungan operasional hanya merupakan dua dari tiga faktor yang dapat meningkatkan kinerja dan komitmen penegakan hukum yang profesional dan tidak memihak. Ketiga faktor tersebut adalah kesejahteraan, dukungan operasional dan kode etik beserta penegakannya.
Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kesejahteraan dan daya dukung operasional senantiasa dikemukakan oleh internal instansi penegak hukum sebagai "curhatan publik". Jarang sekali instansi penegak hukum secara jujur mengkoreksi eksistensi dan penegakan kode etik internalnya. Padahal, ketiga hal tersebut merupakan sisi penunjang penegakan hukum yang tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu sebagai pelengkap analisa yang dikemukakan oleh personil kepolisian tersebut, penulis hendak membicarakan bagaimana Kode Etik juga menunjang instansi penegak hukum membangun profesionalitas dalam kerangka Sistem Peradilan Pidana.
Penerapan Kode Etik
Sebagai milestone awal, mari kita tengok persoalan kode etik penegak hukum di Amerika dan Singapura. Salah satu artikel yang dimuat oleh situs Kantor Berita Antara(Antaranews.com) pada tanggal 8 September 2009 (lihat : http://www.antaranews.com/berita/1260272776/membunuh-nafsu-korupsi-dengan-rp40000) telah mendeskripsikan keadaan yang bernuansa positif dan menarik. Disebutkan bahwa Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura melihat uang adalah simbol usaha keras manusia. Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. Mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan namun sering untung karena berkolusi dengan pemangku kebijakan. Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.
Bahkan rambu etik itu ditegaskan secara gamblang, misalnya melalui Office of Government Ethics (OGE) seperti di Amerika Serikat. OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk keuntungan pribadi. Selain itu, semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya boleh menerima hadiah tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar Rp200.000) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp500.000). sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.

Penulis artikel tersebut menunjukkan bahwa di negara-negara maju, kode etik memegang peranan penting bagi terciptanya akuntabilitas dan profesionalitas penyelenggaraan negara dan dianggap menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat yang antikorupsi pada umumnya dan terjaminnya “due process of law” dalam penegakkan hukum pada khususnya.

Sebagai milestone kedua, Di KPK, Kode etik menjadi standar tingkah laku pegawai yang senantiasa dijaga untuk meningkatkan integritas yang menjadi salah satu nilai dasar pribadi insan KPK. Setiap pelanggaran kode etik ditindak tegas. Selama tahun 2007, telah dilakukan 17 (tujuh belas) audit khusus atas dugaan pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan kewenangan sebagai tindak lanjut dari pengaduan masyarakat. Sedangkan untuk tahun 2008, data yang diperoleh penulis menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat 6 (enam) surat perintah tugas audit khusus untuk penanganan dugaan pelanggaran kode etik di KPK sedangkan sampai dengan November tahun 2009 terdapat 11 pelanggaran kode etik.

Tindakan terhadap Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman, mantan penyidik KPK yang diproses secara hukum karena melakukan pemerasan dalam penanganan kasus korupsi adalah contoh bagaimana KPK menindak tegas personelnya sendiri. Bahkan, atas laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan 17 pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Antasari Azhar yang kini adalah mantan Ketua KPK telah dilakukan tindakan oleh Komisi Etik KPK. Dua kasus pelanggaran kode etik tersebut sempat “menggoyang” semangat pegawai KPK. Namun, karena policy terhadap pelanggaran kode etik sekeras mungkin dilaksanakan secara “zero tolerance”, KPK mampu terlindungi dari konflik kepentingan yang berpotensi merongrong kewibawaan institusi.

Masih banyak contoh penerapan kode etik di KPK. Bahkan berdasarkan informasi dari narasumber penulis di Internal KPK, banyak pegawai KPK baik dari Unit Sekretariat Jenderal, Pencegahan sampai Unit Penindakan pernah mengalami cobaan kode etik pribadi. Dari yang “biasa-biasa” sampai yang “luar biasa”. Dari tawaran makan siang, tiket perjalanan dan akomodasi gratis sampai pada tawaran wanita, uang, bahkan kepemilikan tambang minyak dan batu bara.
Milestone terakhir, Badan Pembinaan Hukum Nasional merumuskan bahwa dalam rangka pembangunan di bidang Penegakan Hukum dan Reformasi Aparatur diperlukan Sistem rekrutmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekrutmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi, dan partisipasi di bidang peradilan serta optimalisasi standar kode etik profesi hukum di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya serta asosiasi profesi hukum dan juga perlu dilakukan secepatnya sebagai upaya penegakan hukum.

Hal ini menunjukan bahwa pemahaman yang dianut oleh negara kita dalam proses pembangunan aparatur penegak hukum yang profesional selalu diawali oleh penciptaan dan penerapan serta penegakkan kode etik yang disiplin. Sebab, kode etik adalah standar moral yang mengatur sesatu boleh dan tidak boleh. Bisa jadi suatu perbuatan tidak ada hukum yang mengaturnya, tetapi jika kode etik dilanggar, semestinya akan terdapat sanksi sosial yang membuat jera.
Epilog

Salah seorang kolega penulis yang bekerja sebagai Jaksa Penuntut Umum di KPK pernah menyatakan, “saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa peningkatan kesejahteraan akan menjamin peningkatkan profesionalitas penegakkan hukum di Indonesia dan menghindarkan dari peluang korupsi. Sebab, berdasarkan pengalaman sebagai JPU lebih dari 20 tahun menemukan bahwa korupsi banyak terjadi karena keserakahan, bukan karena kurang sejahtera. Mendisiplinkan profesi melalui kode etik yang benar-benar ditegakkan serta pelaksanaan tugas tanpa intervensi kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan tugas kita itu lebih ampuh untuk meningkatkan profesionalitas penegakkan hukum.”

Tulisan ini bukan ingin mengesampingkan permasalahan kesejahteraan aparat penegak hukum yang (memang) kurang memadai. Tulisan ini hanyalah bentuk penyadaran bahwa disadari atau tidak, kode etik aparat penegak hukum itu hanya eksis secara formal, namun penerapan dan penegakkannya masih kurang optimal. Penulis berpandangan mendisiplinkan diri pribadi terhadap kode etik menunjukan kelayakan aparat penegak hukum untuk dapat segera “disejahterakan” oleh negara.

20 October 2010

Sosok ANGGODO yang Saya Kenal

ANGGODO (Tokoh Pewayangan) berwujud kera berbulu merah, tetapi dapat berbicara dan beradat - istiadat seperti manusia. Anggada adalah putra Resi Subali dari pertapaan Sunyapringga dengan Dewi Tara, putri sulung Bathara Indra dengan Dewi Wiyati.
Ia berperawakan gagah perkasa dan sangat sakti. Anggodo mempunyai sifat dan perwatakan ; pemberani, cerdik, pandai, tangkas trengginas dan mudah naik darah/pemarah. Sejak bayi Anggodo hidup dalam asuhan pamannya, Prabu Sugriwa, raja kerajaan Gowa Kiskenda, karena ketika Resi Subali meninggal ia masih dalam kandungan. Menjelang pecah perang Alengka, Anggodo dijadikan duta oleh Ramawijaya untuk meminta kepastian Prabu Dasamuka. Dewi Sinta akan diserahkan secara damai, atau akan tetap dipertahankan dan direbut dengan jalan peperangan. Pada saat itu Prabu Rama dan bala tentara kera dari Gowa Kiskenda telah berada di pesanggrahan Suwelagiri, wilayah negara Alengka.
Karena termakan hasutan Prabu Dasamuka perihal kematian Resi Subali yang dibunuh Ramawijaya, Anggodo berbalik akan membunuh Prabu Ramawijaya sebagai balas dendam kematian ayahnya. Tapi akhirnya ia dapat ditundukkan oleh Anoman dan disadarkan Ramawijaya. Anggodo kemudian kembali menyerang Alengka dan berhasil membawa pulang mahkota Prabu Dasamuka. Dalam perang Alengka. Anggodo menunjukkan kegagahannya. Ia banyak membunuh senapati Alengka. Setelah perang Alengka berakhir, Anggodo kembali ke Gowa Kiskenda, kemudian bertapa di pertapaan Sunyapringga sampai akhir hayatnya.

17 October 2010

Alasan Saya Mengatakan RPP Penyadapan Cacat Hukum dan Inkonstitusional

Tim Perumus RPP Penyadapan di bawah naungan Kementerian Kominfo masih getol menggolkan RPP Penyadapan menjadi PP. Padahal sudah banyak yang menilai bahwa RPP Penyadapan akan mempersempit ruang gerak aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan penanganan gerak cepat. beberapa kelompok masyarakat yang dahulu ramai memperbincangkan hal ini sudah mengalihkan isu yang diembannya dengan isu pemilihan Kapolri.

Saya sendiri belum pernah membaca isi RPP Penyadapan, namun secara tegas saya berada pada posisi yang berbeda dengan Kemkominfo mengenai "bentuk" pengaturan penyadapan ini. Beberapa alasan yang untuk saat ini (- kemungkinan berkembang) dapat saya kemukakan adalah :

Pertama, Pasal 28 J UUD 1945 menyatakan bahwa :
" Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Pasal ini berbicara tentang HAM, disebutkan secara tegas disitu apabila suatu HAM akan dilakukan pembatasan, maka bentuk pembatasan tersebut harus ditetapkan dengan UU, bukan dengan bentuk PP, hal ini sejalan dengan apa yang juga dimaksud oleh pasal 8 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, dalam pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 menyatakan bahwa:
”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana
pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang",

Ketiga, di Indonesia setidaknya terdapat sembilan UU yang mengakui adanya kewenangan penyadapan yang dimiliki instansi penegak hukum. UU tersebut adalah:
(1) Bab XXVII WvS Tentang Kejahatan Jabatan, Pasal 430 – 434,
(2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
(3) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(4) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
(5) Perpu No 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
(6) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
(7) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
(8) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
(9) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Mengingat cangkupan yang luas maka sesuai sifatnya, peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dan daya ikat dengan cakupan yang luas sudah seharusnya diatur dengan UU.

Keempat, Penyadapan merupakan salah satu kewenangan penegak hukum (penyelidik, penyidik, JPU, Hakim) yang merupakan ligkup hukum formil dalam sistem peradilan pidana sebagaimana KUHAP. Terkait dengan kewenangan itulah maka sudah seharusnya Penyadapan diatur dengan Undang-Undang sebagai pelengkap kewenangan Penegak hukum yang diatur KUHAP. hal ini pun telah disebut secara tegas dalam pasal 31 ayat (3) UU ITE. Sehingga meminta penegak hukum untuk tunduk kepada RPP Penyadapan adalah suatu hal yang keliru.

16 October 2010

Konsekuensi Penafsiran Keuangan BUMN Masuk ke dalam Lingkup Keuangan Negara Terhadap Doktrin BUMN Sebagai Rechtpersoon

PENDAHULUAN

Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Dikemukakan secara tegas oleh pasal tersebut bahwa, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Bung Hatta sebagaimana dikutip oleh Revrisond Baswir, (“Menggugat Rampokisasi BUMN”), yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan pemerintah) untuk melakukan pengendalian. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan kegiatannya. “Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana—BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggungjawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh negara,” (Hatta, 1963). oleh karena itu keberadaan BUMN merupakan salah satu instrumen campur tangan negara yang memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat di Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”. [1]

Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) [2] menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya.

BUMN dapat berbentuk Perum (Perusahaan Umum) atau Persero (Perusahaan Perseroan).[3] untuk BUMN yang berbentuk Persero merupakan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.4 Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.[5]

Pasal 1 angka 1 UU Perseroan Terbatas menegaskan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian Pasal 7 Ayat (4) UU PT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. [6]

Berdasarkan hal tersebut di atas, BUMN merupakan badan hukum perseroan yang pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta tunduk pada hukum privat. Dan sebagaimana halnya perseroan pada umumnya, BUMN memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara maupun pemegang saham (pemilik), direksi (pengurus), dan komisaris (pengawas).

Disisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan negara salah satunya meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. [7]

Dalam mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD kepada DPR, laporan keuangan perusahaan negara (BUMN) menjadi bagian yang tidak dipisahkan sebagai lampiran dari Laporan keungan pemerintah yang terdiri dari Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan pemerintah. [8] Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. [9]

Tak pelak terjadi perbedaan diantara para ahli hukum untuk mendudukkan apakah keuangan/kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara atau tidak. Pihak yang berpendapat bahwa keuangan/kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara mendasarkan bahwa esensi dari penyertaan negara modal negara yang dipisahkan untuk dimasukkan ke dalam kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik seperti dinyatakan oleh Prof. Sahetapy. Sedangkan pihak yang mengartikan keuangan/kekayaan BUMN tidak masuk keuangan negara terutama bagi BUMN, berpendapat bahwa ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Sehingga kalau ada masalah hukum atau ada kerugian negara yang dialami oleh BUMN, bukan merupakan kerugian negara. Pendapat ini merupakan pendapat Prof. Arifin Soeriaatmadja dan Prof. Erman Radjagukguk. [10]

Dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut, definisi keuangan negara menjadi bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan kekayaan BUMN atau BUMD. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada BUMN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.[11]

Namun dibalik itu semua, menurut penulis terdapat konsekuensi yuridis yang harus kita pilih manakala kita hendak menilai keuangan BUMN sebagai keuangan negara atau bukan. Konsekuensi tersebut erat kaitannya dengan eksistensi sifat badan hukum yang melekat pada BUMN. Hal itulah yang hendak penulis bahas pada makalah ini.


Ajaran Mengenai Badan Hukum

Dalam ilmu hukum ada dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai persona atau sebagai orang.

Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa:Semua Zedelijkelichaam badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi ketentuan perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata-cara tertentu.

Sementara itu, Pasal 1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (1) adanya harta kekayaan yang terpisah, (2) mempunyai tujuan tertentu, (3) mempunyai kepentingan sendiri, dan (4) adanya organisasi yang teratur. Bila dikaitkan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas sebagai badan hukum maka doktrin tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dalam kaitannya kekayaan yang terpisah dari pengurus-pengurusnya, dalam Pasal 82 dalam kaitannya dengan kepunyaan kepentingan sendiri, Pasal 12 huruf b dalam kaitannya mempunyai tujuan tertentu, Pasal 1 butir 2 UUPT dalam kaitannya dengan organisasinya yang teratur.

Menurut pasal 1653 KUH Perdata, badan hukum dapat dibentuk melalui:
Pertama, diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara) melalui pembentukan dengan undang-undang. Sebagai contoh, PT dinyatakan sebagai badan hukum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, koperasi dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perkoperasian, dan yayasan dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Kedua, Diakui oleh kekuasaan umum (negara), seperti organisasi Subak di Bali;
Ketiga, Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan), atau dengan perkataan lain melalui konstruksi perdata.

Dengan melihat dasar pendirian suatu badan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1653 KUHPerdata di atas dapat dibedakan antara badan hukum publik dengan badan hukum privat (perdata). Masuk ke dalam kategori badan hukum publik ialah badan hukum yang dibentuk dengan cara diundangkan (dengan UU) atau dengan cara diakui oleh kekuasaan umum hukum (negara). Sedangkan badan hukum privat ialah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan, dengan konstruksi keperdataan melalui perjanjian.

Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.


KONSEPSI HUKUM KEUANGAN PUBLIK

Secara teoritis, konsep hukum keuangan publik mengandung prinsip kehati-hatian yang luar biasa dalam menentukan pengelolaan dan tanggung jawabnya terutama agar (1) negara tidak melalaikan kewajibannya, (2) warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta (3) badan hukum tidak diingkari kedudukannya.Sedangkan buka ditilik dari sejarahnya, Proudhon, Ahli Hukum Prancis menguraikan teori kedudukan hukum hak kepunyaan publik dan hak kepunyaan privat yakni kepunyaan publik negara adalah benda yang disediakan pemerintah untuk dipergunakan oleh pelayanan publik dan penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara. Dan Kekayaan atau hak kepunyaan publik tidak diatur dalam hukum yang mengatur kepunyaan perdata. [12]

Sedangkan dari kacamata konsep menguasai dalam hukum keungan negara menggariskan bahwa hak kepunyaan publik negara dikuasai (beheren) negara dan dilakukan pengawasan (toezichtouden) oleh alat negara. Hal ini berarti berarti bahwa benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi obyek perjanjian perdata. Disamping itu, Sifat hukum (rechstkarakter) kepunyaan publik negara ditujukan pada benda atau kekayaan yang digunakan untuk penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik. Dan sebagai konsekuensinya, Hak kepunyaan perdata biasa yang tunduk pada peraturan perdata tidak dapat dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan atau dikuasai negara, apalagi diklasifikasikan sebagai milik negara (staatseigenaar). [13]

Sedangkan Hobbes mengatakan bahwa Barang publik adalah yang digunakan untuk membiayai negara pengatur yang fungsi ekonominya terbatas pada fungsi memelihara ketertiban umum dan keamanan nasional. Negara akan ‘membisu’ sepanjang menyangkut subansi perdagangan dan kontrak antar-individu. [14]


Analisa Teoritis Yuridis

Dari konsep yuridis dan teoritis tersebut dapat dianalisa bahwa penafsiran keuangan BUMN masuk ke dalam lingkup keuangan negara akan membawa konsekuensi bahwa BUMN akan kehilangan statusnya sebagai sebuah badan hukum. Sebab, dengan mengatakan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara berarti Negara-lah yang menjadi Subjek Hukum atas keuangan BUMN. Dengan demikian BUMN menjadi tidak memenuhi syarat sebagai subyek hukum terkait kepemilikan atas kekayaannya sendiri dan tidak terpisahnya kekayaan yang dimiliki oleh BUMN dengan kekayaan/keuangan negara.

Lebih lanjut, pertanggungjawaban korporasi menjadi tidak berlaku atas BUMN. Sebab, pertanggungjawaban korporasi muncul dari sebuah pengakuan BUMN sebagai Badan hukum subjek hukum. Manakala terjadi suatu dispute antara BUMN dengan badan hukum lain dalam lingkup keperdataan maka Direksi yang mewakili BUMN pada hakikatnya duduk atas nama Presiden sebagai perwakilan Negara. Dan dalam lingkup hukum pidana, maka perbuatan pengurusnya yang dianggap melanggar hukum harus dianggap sebagai perbuatan masing-masing individu sebagai subyek hukum.

Jika ditelaah lebih dalam, memberikan pengaturan yang begitu mengikat atas kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara dapat dilihat sebagai bentuk ketidakpercayaan Pemerintah/negara kepada pengelolaan BUMN sebagai unit usaha pemerintah.


Penutup

Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa meyakini penafsiran keuangan BUMN masuk ke dalam lingkup keuangan negara akan membawa konsekuensi terjadinya pengingkaran atas suatu perundangan dengan dengan perundangan lainnya; dan doktrin hukum yang satu dengan doktrin hukum lainnya. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya pelurusan konsep keuangan negara atas kekayaan BUMN diarahkan kepada kemandirian BUMN sebagai sebuah badan hukum dengan memberikan kepercayaan penuh negara kepada pengurus BUMN untuk mengelola kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai modal untuk menciptakan pemasukan bagi negara.

------------------------------------------------------------------

[1] Revrisond Baswir, Menggugat Rampokisasi BUMN, sebagaimana di upload dalam situs Rumah Cerdas Nusantara (lihat : http://rcn56.blogspot.com/2009/10/menggugat-rampokisasi-bumn.html?zx=a9eee4650f455b7f) diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.
[3] Ibid., pasal 9.
[4] Ibid., pasal 1 angka 2
[5] Ibid.
[6] Ibid, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.
[7] Ibid., Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, pasal 2.
Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
[8] Ibid., pasal 30.
[9] Ibid. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, pasal 1.
[10] Maqdir Ismail. Rambu Pidana Bagi Pimpinan BUMN., mengutip berita dari Hukumonline.com edisi 31 Juli 2006, sebagaimana diupload dalam situs media online gagasanhukum.wordpress.com (lihat di http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/11/27/rambu-pidana-bagi-pimpinan-bumn-bagian-iii/) diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
[11] Arifin Soeriaatmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hal. 69.
[12] Dian P. Simatupang, Hak Menguasai Negara dalam Keuangan Publik, Konsep, Teori Dan Praktik, Bahan Perkuliahan Hukum Anggaran Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2 0 0 7, sebagaimana diupload dalam http://staff.ui.ac.id/internal/0506050063/material/HAKMENGUASAINEGARA.ppt.; diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
[13] Ibid.
[14] Ibid.