Beranda

17 October 2010

Alasan Saya Mengatakan RPP Penyadapan Cacat Hukum dan Inkonstitusional

Tim Perumus RPP Penyadapan di bawah naungan Kementerian Kominfo masih getol menggolkan RPP Penyadapan menjadi PP. Padahal sudah banyak yang menilai bahwa RPP Penyadapan akan mempersempit ruang gerak aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan penanganan gerak cepat. beberapa kelompok masyarakat yang dahulu ramai memperbincangkan hal ini sudah mengalihkan isu yang diembannya dengan isu pemilihan Kapolri.

Saya sendiri belum pernah membaca isi RPP Penyadapan, namun secara tegas saya berada pada posisi yang berbeda dengan Kemkominfo mengenai "bentuk" pengaturan penyadapan ini. Beberapa alasan yang untuk saat ini (- kemungkinan berkembang) dapat saya kemukakan adalah :

Pertama, Pasal 28 J UUD 1945 menyatakan bahwa :
" Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Pasal ini berbicara tentang HAM, disebutkan secara tegas disitu apabila suatu HAM akan dilakukan pembatasan, maka bentuk pembatasan tersebut harus ditetapkan dengan UU, bukan dengan bentuk PP, hal ini sejalan dengan apa yang juga dimaksud oleh pasal 8 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, dalam pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 menyatakan bahwa:
”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana
pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang",

Ketiga, di Indonesia setidaknya terdapat sembilan UU yang mengakui adanya kewenangan penyadapan yang dimiliki instansi penegak hukum. UU tersebut adalah:
(1) Bab XXVII WvS Tentang Kejahatan Jabatan, Pasal 430 – 434,
(2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
(3) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(4) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
(5) Perpu No 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
(6) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
(7) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
(8) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
(9) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Mengingat cangkupan yang luas maka sesuai sifatnya, peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dan daya ikat dengan cakupan yang luas sudah seharusnya diatur dengan UU.

Keempat, Penyadapan merupakan salah satu kewenangan penegak hukum (penyelidik, penyidik, JPU, Hakim) yang merupakan ligkup hukum formil dalam sistem peradilan pidana sebagaimana KUHAP. Terkait dengan kewenangan itulah maka sudah seharusnya Penyadapan diatur dengan Undang-Undang sebagai pelengkap kewenangan Penegak hukum yang diatur KUHAP. hal ini pun telah disebut secara tegas dalam pasal 31 ayat (3) UU ITE. Sehingga meminta penegak hukum untuk tunduk kepada RPP Penyadapan adalah suatu hal yang keliru.

No comments:

Post a Comment