PENDAHULUAN
Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Dikemukakan secara tegas oleh pasal tersebut bahwa, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Bung Hatta sebagaimana dikutip oleh Revrisond Baswir, (“Menggugat Rampokisasi BUMN”), yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat 2 itu lebih ditekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara (bukan pemerintah) untuk melakukan pengendalian. Artinya, dengan dikuasainya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut oleh negara, berarti negara memiliki hak untuk mengendalikan kegiatannya. “Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana—BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggungjawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikendalikan oleh negara,” (Hatta, 1963). oleh karena itu keberadaan BUMN merupakan salah satu instrumen campur tangan negara yang memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat di Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”. [1]
Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) [2] menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya.
BUMN dapat berbentuk Perum (Perusahaan Umum) atau Persero (Perusahaan Perseroan).[3] untuk BUMN yang berbentuk Persero merupakan BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.4 Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.[5]
Pasal 1 angka 1 UU Perseroan Terbatas menegaskan bahwa Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian Pasal 7 Ayat (4) UU PT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. [6]
Berdasarkan hal tersebut di atas, BUMN merupakan badan hukum perseroan yang pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta tunduk pada hukum privat. Dan sebagaimana halnya perseroan pada umumnya, BUMN memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara maupun pemegang saham (pemilik), direksi (pengurus), dan komisaris (pengawas).
Disisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan negara salah satunya meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. [7]
Dalam mekanisme pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD kepada DPR, laporan keuangan perusahaan negara (BUMN) menjadi bagian yang tidak dipisahkan sebagai lampiran dari Laporan keungan pemerintah yang terdiri dari Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan pemerintah. [8] Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. [9]
Tak pelak terjadi perbedaan diantara para ahli hukum untuk mendudukkan apakah keuangan/kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara atau tidak. Pihak yang berpendapat bahwa keuangan/kekayaan BUMN masuk dalam keuangan negara mendasarkan bahwa esensi dari penyertaan negara modal negara yang dipisahkan untuk dimasukkan ke dalam kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik seperti dinyatakan oleh Prof. Sahetapy. Sedangkan pihak yang mengartikan keuangan/kekayaan BUMN tidak masuk keuangan negara terutama bagi BUMN, berpendapat bahwa ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Sehingga kalau ada masalah hukum atau ada kerugian negara yang dialami oleh BUMN, bukan merupakan kerugian negara. Pendapat ini merupakan pendapat Prof. Arifin Soeriaatmadja dan Prof. Erman Radjagukguk. [10]
Dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut, definisi keuangan negara menjadi bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan kekayaan BUMN atau BUMD. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada BUMN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.[11]
Namun dibalik itu semua, menurut penulis terdapat konsekuensi yuridis yang harus kita pilih manakala kita hendak menilai keuangan BUMN sebagai keuangan negara atau bukan. Konsekuensi tersebut erat kaitannya dengan eksistensi sifat badan hukum yang melekat pada BUMN. Hal itulah yang hendak penulis bahas pada makalah ini.
Ajaran Mengenai Badan Hukum
Dalam ilmu hukum ada dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai persona atau sebagai orang.
Pengaturan dasar dari badan hukum itu sendiri terdapat di dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa:Semua Zedelijkelichaam badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi ketentuan perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata-cara tertentu.
Sementara itu, Pasal 1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (1) adanya harta kekayaan yang terpisah, (2) mempunyai tujuan tertentu, (3) mempunyai kepentingan sendiri, dan (4) adanya organisasi yang teratur. Bila dikaitkan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas sebagai badan hukum maka doktrin tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dalam kaitannya kekayaan yang terpisah dari pengurus-pengurusnya, dalam Pasal 82 dalam kaitannya dengan kepunyaan kepentingan sendiri, Pasal 12 huruf b dalam kaitannya mempunyai tujuan tertentu, Pasal 1 butir 2 UUPT dalam kaitannya dengan organisasinya yang teratur.
Menurut pasal 1653 KUH Perdata, badan hukum dapat dibentuk melalui:
Pertama, diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara) melalui pembentukan dengan undang-undang. Sebagai contoh, PT dinyatakan sebagai badan hukum di dalam Pasal 1 butir 1 UUPT, koperasi dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perkoperasian, dan yayasan dinyatakan sebagai badan hukum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Kedua, Diakui oleh kekuasaan umum (negara), seperti organisasi Subak di Bali;
Ketiga, Badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan), atau dengan perkataan lain melalui konstruksi perdata.
Dengan melihat dasar pendirian suatu badan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1653 KUHPerdata di atas dapat dibedakan antara badan hukum publik dengan badan hukum privat (perdata). Masuk ke dalam kategori badan hukum publik ialah badan hukum yang dibentuk dengan cara diundangkan (dengan UU) atau dengan cara diakui oleh kekuasaan umum hukum (negara). Sedangkan badan hukum privat ialah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan, dengan konstruksi keperdataan melalui perjanjian.
Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.
KONSEPSI HUKUM KEUANGAN PUBLIK
Secara teoritis, konsep hukum keuangan publik mengandung prinsip kehati-hatian yang luar biasa dalam menentukan pengelolaan dan tanggung jawabnya terutama agar (1) negara tidak melalaikan kewajibannya, (2) warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta (3) badan hukum tidak diingkari kedudukannya.Sedangkan buka ditilik dari sejarahnya, Proudhon, Ahli Hukum Prancis menguraikan teori kedudukan hukum hak kepunyaan publik dan hak kepunyaan privat yakni kepunyaan publik negara adalah benda yang disediakan pemerintah untuk dipergunakan oleh pelayanan publik dan penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara. Dan Kekayaan atau hak kepunyaan publik tidak diatur dalam hukum yang mengatur kepunyaan perdata. [12]
Sedangkan dari kacamata konsep menguasai dalam hukum keungan negara menggariskan bahwa hak kepunyaan publik negara dikuasai (beheren) negara dan dilakukan pengawasan (toezichtouden) oleh alat negara. Hal ini berarti berarti bahwa benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi obyek perjanjian perdata. Disamping itu, Sifat hukum (rechstkarakter) kepunyaan publik negara ditujukan pada benda atau kekayaan yang digunakan untuk penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik. Dan sebagai konsekuensinya, Hak kepunyaan perdata biasa yang tunduk pada peraturan perdata tidak dapat dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan atau dikuasai negara, apalagi diklasifikasikan sebagai milik negara (staatseigenaar). [13]
Sedangkan Hobbes mengatakan bahwa Barang publik adalah yang digunakan untuk membiayai negara pengatur yang fungsi ekonominya terbatas pada fungsi memelihara ketertiban umum dan keamanan nasional. Negara akan ‘membisu’ sepanjang menyangkut subansi perdagangan dan kontrak antar-individu. [14]
Analisa Teoritis Yuridis
Dari konsep yuridis dan teoritis tersebut dapat dianalisa bahwa penafsiran keuangan BUMN masuk ke dalam lingkup keuangan negara akan membawa konsekuensi bahwa BUMN akan kehilangan statusnya sebagai sebuah badan hukum. Sebab, dengan mengatakan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara berarti Negara-lah yang menjadi Subjek Hukum atas keuangan BUMN. Dengan demikian BUMN menjadi tidak memenuhi syarat sebagai subyek hukum terkait kepemilikan atas kekayaannya sendiri dan tidak terpisahnya kekayaan yang dimiliki oleh BUMN dengan kekayaan/keuangan negara.
Lebih lanjut, pertanggungjawaban korporasi menjadi tidak berlaku atas BUMN. Sebab, pertanggungjawaban korporasi muncul dari sebuah pengakuan BUMN sebagai Badan hukum subjek hukum. Manakala terjadi suatu dispute antara BUMN dengan badan hukum lain dalam lingkup keperdataan maka Direksi yang mewakili BUMN pada hakikatnya duduk atas nama Presiden sebagai perwakilan Negara. Dan dalam lingkup hukum pidana, maka perbuatan pengurusnya yang dianggap melanggar hukum harus dianggap sebagai perbuatan masing-masing individu sebagai subyek hukum.
Jika ditelaah lebih dalam, memberikan pengaturan yang begitu mengikat atas kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara dapat dilihat sebagai bentuk ketidakpercayaan Pemerintah/negara kepada pengelolaan BUMN sebagai unit usaha pemerintah.
Penutup
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa meyakini penafsiran keuangan BUMN masuk ke dalam lingkup keuangan negara akan membawa konsekuensi terjadinya pengingkaran atas suatu perundangan dengan dengan perundangan lainnya; dan doktrin hukum yang satu dengan doktrin hukum lainnya. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya pelurusan konsep keuangan negara atas kekayaan BUMN diarahkan kepada kemandirian BUMN sebagai sebuah badan hukum dengan memberikan kepercayaan penuh negara kepada pengurus BUMN untuk mengelola kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai modal untuk menciptakan pemasukan bagi negara.
------------------------------------------------------------------
[1] Revrisond Baswir, Menggugat Rampokisasi BUMN, sebagaimana di upload dalam situs Rumah Cerdas Nusantara (lihat : http://rcn56.blogspot.com/2009/10/menggugat-rampokisasi-bumn.html?zx=a9eee4650f455b7f) diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
[2] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70.
[3] Ibid., pasal 9.
[4] Ibid., pasal 1 angka 2
[5] Ibid.
[6] Ibid, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106.
[7] Ibid., Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, pasal 2.
Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
[8] Ibid., pasal 30.
[9] Ibid. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, pasal 1.
[10] Maqdir Ismail. Rambu Pidana Bagi Pimpinan BUMN., mengutip berita dari Hukumonline.com edisi 31 Juli 2006, sebagaimana diupload dalam situs media online gagasanhukum.wordpress.com (lihat di http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/11/27/rambu-pidana-bagi-pimpinan-bumn-bagian-iii/) diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
[11] Arifin Soeriaatmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hal. 69.
[12] Dian P. Simatupang, Hak Menguasai Negara dalam Keuangan Publik, Konsep, Teori Dan Praktik, Bahan Perkuliahan Hukum Anggaran Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2 0 0 7, sebagaimana diupload dalam http://staff.ui.ac.id/internal/0506050063/material/HAKMENGUASAINEGARA.ppt.; diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
No comments:
Post a Comment