Beranda

15 September 2010

Sebait Proklamasi Umar Bin Khattab

Pagi ini merupakan pagi pertama aku masuk kerja setelah Cuti Iedul Fitri 1431 H. Ketika ku bersiap untuk menyegarkan tubuh, Kisah Umar bin Khattab menyapa genderang inspirasiku. Imajinasiku melayang seakan-akan aku menjadi bagian dari peristiwa yang di-Riwayat-kan oleh Ali Bin Abi Thalib ketika Seorang Umar Bin Khattab sedang mempersiapkan diri melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk Hijrah ke Madinah (d/h Yatsrib).
Seakan-akan aku melihat Umar sedang berdiri di dekat Ka'bah. Ia berseru dengan lantang kepada Masyarakat Quraisy yang menjadi penentang Agama yang dianutnya dengan suara yang penuh wibawa,

"Ya ma'syaral Quraisy (wahai orang-orang Quraisy), ketahuilah bahwa sesungguhnya Aku, Umar bin Khattab, akan melaksanakan Hijrah ke Yatsrib esok hari. Maka barang siapa yang menginginkan Ibunya kehilangan anaknya, atau Istrinya menjadi Janda, atau anaknya menjadi yatim, maka hadanglah aku esok hari".

Atas ucapan Umar Bin Khattab tersebut, Imajinasiku melihat wajah orang-orang Quraisy yang menunjukkan keengganannya untuk menghadang Umar Bin Khattab berhijrah ke Madinah. Wajah-wajah enggan itu menyiratkan ketakutan. Sebab, mereka memahami bahwa menghadang Umar untuk berhijrah itu berarti menjemput sendiri kematian mereka.
Lalu aku pun terhentak dari Imajinasi itu, bergegas mengalirkan air untuk membersihkan dan menyegarkan tubuh sebelum berangkat beraktifitas. Sambil mengucap basmalah dalam hati, aku bersyukur bahwa inspirasi pagi ini ini adalah sebait proklamasi hijrah dari salah satu Amirul Mu'minin.

23 August 2010

IDEALISME KAMI

"Idealisme Kami" adalah istilah yang sedang marak. Beberapa forum dan jaringan antar lembaga terutama yang bernuansa Islami ramai-ramai menjadikan "Idealisme Kami" sebagai salah satu karakter yang hendak dicapai atau background pembentukan. Lalu dari apakah "Idealisme Kami" itu? mengapa banyak sekali orang yang menggunakannya?
Sependek pengetahuan saya, "Idealisme Kami" merupakan karya orisinal Hasan Al Banna, seorang pendiri Organisasi Ikhwanul Muslimun di Mesir. "Idealisme Kami" sebenarnya adalah bagian dari buku yang ditulis Hasan Al Banna yang berjudul "Majmu'atur Rasail" yang dalam terbitan Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "Risalah Pergerakan". Pada sebuah Sub judul buku tersebut tertuliskan "Idealisme Kami" yang kemudian banyak dicuplik oleh orang-orang atau organisasi-organisasi yang kepincut dengan keindahan sastra karya Hasan Al Banna ini.
Organisasi yang pertama menggunakan "Idealisme Kami" adalah sebuah Program Pembinaan Sumber Daya Strategis (PPSDMS) yang pada awalnya di bawah naungan Yayasan Nurul Fikri. lama kelamaan Program ini mampu berdiri sehingga lepas dari yayasan induk (Nurul Fikri) dan menjadi Yayasan Bina PPSDMS NF. Dengan sedikit penyesuaian, PPSDMS NF meminjam Sub bagian dari Buku Hasan Al Banna tersebut dan memperkenalkannya sebagai karakter Organisasi sehingga "Idealisme Kami" dikenal luas sampai dengan sekarang.
Ternyata PPSDMS Nurul Fikri dengan "Idealisme Kami"-nya telah mempengaruhi sebuah Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) sehingga FSLDK tak mau ketinggalan menggunakan istilah ini dalam Risalah Manajemen Dakwah Kampus FSLDK Indonesia (lihat di sini http://mohdabdarif.blogspot.com/2010/02/idealisme-kami-fsldk.html ).
Lalu, sebenarnya apa sih bunyi "Idealisme Kami" itu?
Saya sendiri sangat kagum dengan kedalaman dan keindahan bahasa sastra bait-bait-nya. Bahasanya begitu menyentuh dan tulus. Saya tulis di dalam Blog saya ini dengan kekaguman dan berharap saya adalah penutur asli dari kalimat-kalimat tersebut. Atau, setidak-tidaknya "Idealisme Kami" terpatri dengan indah di relung hati saya.
Mudah-mudahan kalimat ini membawa nuansa perubahan di Bumi Indonesia.
-----------------
IDEALISME KAMI

Betapa inginnya kami
agar bangsa ini mengetahui
bahwa mereka lebih kami cintai
daripada diri kami sendiri.
Kami berbangga,
ketika jiwa-jiwa kami gugur
sebagai penebus bagi kehormatan mereka,
jika memang tebusan itu yang diperlukan.
Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan,
dan terwujudnya cita-cita mereka,
jika memang itu harga yang harus dibayar.
Tiada sesuatu
yang membuat kami bersikap seperti ini
selain rasa cinta
yang telah mengharu-biru hati kami,
menguasai perasaan kami,
memeras habis air mata kami,
dan mencabut rasa ingin tidur
dari pelupuk mata kami.
Betapa berat rasa di hati
ketika kami menyaksikan
bencana yang mencabik-cabik bangsa ini,
sementara kita hanya menyerah pada kehinaan
dan pasrah oleh keputusasaan.
Kami ingin
agar bangsa ini mengetahui
bahwa kami membawa misi yang bersih dan suci;
bersih dari ambisi pribadi,
bersih dari kepentingan dunia,
dan bersih dari hawa nafsu.
Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia;
tidak mengharap harta benda
atau imbalan lainnya,
tidak juga popularitas,
apalagi sekedar ucapan terima kasih.
Yang kami harap adalah
terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat
serta kebaikan dari Allah-Pencipta alam semesta.

Satu Lagi Sentuhan Halus di Hari Kemerdekaan

Pagi ini saya coba untuk membuka salah satu akun email di gmail, dan yahoo. Tujuan saya cuma satu, kepada siapa lagi saya bisa menyambung silaturahim di pagi ini. Mudah-mudahan dapat satu atau dua Sahabat yang bisa disapa.
Email yang menempati urutan pertama pada akun gmail berasal dari Sahabat satu kantor. Isinya sebuah Teguran halus yang mengingatkan betapa besarnya bangsa Indonesia. email itu mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara kaya. Kaya akan potensi alam, kaya akan budaya, kaya akan keberagaman, kaya akan potensi Sumber daya manusia, dan lain-lain.

Namun kekayaan yang dimiliki itu ternyata belum (atau tidak) bisa dikelola dengan baik oleh bangsa ini sebagai salah satu kekuatannya, belum (atau tidak) bisa mensejahterakan bangsa. Kekayaan itu juga tidak menjadikan Bangsa ini menghargai nuansa-nuansa perjuangan kemerdekaan yang telah dicapai oleh para Pahlawan yang (sekali lagi) tidak pernah memikirkan keuntungan yang didapat untuk dirinya.

Sahabat,.. saya harap tidak terlalu banyak mengumbar kata. Semoga Sahabat sekalian bisa menangkap hal ini. Dan biarlah gambar yang berbicara.


Foto disamping adalah kondisi tambang emas PT. Freeport (Tambang emas terbesar di Dunia). Bayangkan, Tambang Emas terbesar di Dunia ada di Papua, Indonesia. Gunung Emas telah diangkat dari Bumi Papua, Indonesia ke Luar negeri (pasti Sahabat sekalian sudah tahu negara yang saya maksud). Tapi, kenapa tambang logam yang identik dengan simbol kemakmuran itu tidak bisa memberikan imbas kemakmuran bagi Indonesia sebagai sebuah negara, atau paling tidak para penduduk lokal di Papua mengalami Indahnya pembangunan di bagian Timur Indonesia.

Gambar lain yang juga menyentil hati adalah gambar di samping. Tak pelak, gambar ini menciptakan dialog antara hati dan nalar saya, "sedang apa bapak tua itu? makan nasi bungkus dengan menggunakan seragam Veteran Perang Kemerdekan. Dalam rangka apa? Peringatan Resmi Hari Kemerdekaan-kah??? Seragam Veterannya tampak masih bagus, namun sepatu yang digunakannya lebih mirip sepatu boot yang biasa digunakan untuk berkotor-kotor di genangan yang kotor.


Jika Bapak Tua itu memang Veteran yang sedang mengikuti Acara Resmi, sepatutnya dia mendapat perlakuan lebih baik dari Penyelenggara Negara di Negeri ini. Tapi, Entahlah...


Mudah-mudahan sentuhan halus ini bisa memberikan bekas di hati para Sahabat Pembaca sekalian...


22 Agustus 2o10

Untuk Bumi Indonesia Tercinta..

20 October 2009

LOSING YOUR PERSONAL BELONGINGS IN JAPAN

Posted Monday, May 15, 2006; 20:00 HKT
Should you ever doubt that there's a fundamentally benign order to the universe, talk to Mikako Kato. The Tokyo magazine editor has lost her navy-blue Loewe wallet five times in the last 14 years—and it has always been returned to her, complete with credit cards, identification cards and, most remarkably, a good deal of cash.
"It's just so incredible," says Kato, "or this must be a very unattractive wallet." It had nothing to do with the wallet's appearance—Japan has an amazingly high return rate when it comes to lost property. Of the 255,844 wallets reported mislaid in Tokyo last year, a heart-warming 194,139 were handed in to authorities, according to the Tokyo Metropolitan Police's Lost and Found Center. About 95,000 of the 100,247 cell phones reported lost were also brought in.
What can account for this? Traditional virtues, certainly (teaching children to hand in lost items is commonplace anywhere in the world, but is done with real zeal in Japan). Empathy with one's fellow commuters and city dwellers, perhaps. Whatever the explanation, these displays of honesty routinely astonish visitors from abroad. "In London, if you left an umbrella outside a 7-Eleven, it'd be gone by the time you entered the store," says Dick Catlin, an expatriate investment banker from England who lost his camera, phone and house keys in a Tokyo bar only to find them untouched the next day. "But Japan is extremely unusual." The message is clear: if you're going to be forgetful, remember to do it in Japan.

TIME, 22 May 2006 (sebagaimana juga di cuplik Tuanakotta dalam "Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif", LP-FEUI, 2007

28 May 2009

AGAMA adalah CANDU? Benarkah..

Ketika buka email yang dikirimkan oleh seorang rekan melalui milis komunitas, sempat kaget bahwa dia melemparkan beberapa pertanyaan :
  1. Religius-kah (salihkah) orang Indonesia? Sholat yang benar akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Kalau sholat jalan, perbuatan keji dan munkar jalan, berarti ada yang salah dengan sholatnya.
  2. Seharusnya orang yang lebih religius adalah orang yang lebih professional. Kalau bisa shalat tepat waktu, harusnya datang kerja juga tepat waktu. Kalau kesalihan tidak nyambung dengan profesionalitas, missing link nya ada dimana ya?
  3. Kenapa rata2 negara maju dan kaya penduduknya cenderung abai dengan agama ya?
  4. Ayo belajar ekonomi dan Islam. Kalau ada di antara sampeyan2 yang masih percaya omongan Jusuf Kalla (misalnya manggut2 setuju dengan omongan beliau di sini ) atau kesengsem sama jargon kerakyatan Prabowo atau Amien Rais, kalau kata buku ini , kayaknya cita - cita negara yang sejahtera masih lama kesampaiannya. Kalau ga sejahtera, (berarti miskin), kata Rasul SAW, kita bakal dekat dengan kekufuran.

Otak-ku langsung Klik hyperlink Statemen Karl Marx, "Agama adalah Candu". Kemudian muncul pertanyaan, benar ga ya aforisme Karl Marx yang cukup terkenal ini?.

Kucoba browsing masa-masa kehidupan Karl Marx ketika mengeluarkan statement itu. Menari-nari dalam pikiranku bahwa ketika mengungkapkan hal tersebut Marx telah memberikan penilaian terhadap situasi masyarakat di sekitarnya. Karena ku tahu persis, si Pakde Marx ini adalah seorang Filsuf, pengamat sosial yang tajam.

Kuyakini, yang dinilai oleh Pakde Marx adalah suasana masyarakat agamis yang diwakili oleh komunitas gereja pada saat itu yang sangat egosentris dan menghalangi kemajuan daya kreasi pemikiran manusia. namun kutak teryakini, apakah komunitas gereja saja yang dinilai sehingga ia menggeneralisasi egosentris gereja ke dalam spektrum seluruh agama yang ada di muka bumi, atau tidak menutup kemungkinan tren sufistik yang pada saat itu sedang booming di kalangan Islam juga punya andil munculnya aforisme Pakde Marx yang demikian.

tapi aku ga mau Ribet, Conditionally, omongan Karl Marx ada benarnya. Coba aja lihat, (aku ambil contoh orang Muslim aja, soale aku Muslim), Orang yang hidupnya hanya beribadah terus sepanjang hari pasti dia ga maju. Apalagi orang yang ber-uzlah selama berhari-hari, berbulan-bulan, dengan alasan kedekatan kepada Sang Khalik akan tercipta ketika mengasingkan diri untuk beribadah.

Tapi, Conditional lainnya, Omongan Karl Marx ga bisa digeneralisasi. Contoh, (lagi-lagi orang muslim yang aku ambil contohnya). Rasulullah SAW beserta Khulafa Rasyidin sebagai generasi murni ajaran Islam, Aforisme Karl Marx ga masuk. Mereka beribadah dengan sangat giat melebihi kualitas ibadah orang-orang Muslim yang hidup saat ini. Tapi, mereka bermasyarakat, mereka membangun perekonomian, Membangun kekuatan militer, Ga pake uzlah-uzlahan segala, ga pernah puasa mutih, ga pernah ngasih sesembahan atau bid'ah-bid'ah lainnya.

Jadi, Aforisme Karl Marx itu (AGAMA adalah CANDU) tidak berlaku umum. Ga bisa diterapkan jika dikaitkan dengan ajaran Islam yang shahih yang dipraktekkan oleh Generasi Islam pertama. Mungkin kalo sekarang, bisa aja Islam itu jadi candu. Misalnya, terhadap orang yang suka banget dengan ritual-ritual dzikir sehingga lupa diri, tanggung jawab keluarga, dan kewajiban berbangsa dan bernegaranya.

ya.. missing link-nya adalah pemahaman yang keliru dari para pemeluk Agama (Islam), kalo agama lain, I dont have capability in judging other religion.

19 May 2009

Jawaban Elegan dari Seorang Tukang Bakso

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik – rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini. Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang maubakso ? "Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ... Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng.
Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini. "Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan ? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita – cita penyempurnaan iman".

"Maksudnya.. ..?", saya melanjutkan bertanya. "Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

  1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.
  2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban.
    Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.
  3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam.

Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yangmampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".